Terbit di Koran Jakarta edisi 01 November 2010
Judul : Good Capitalism, Bad Capitalism; Kapitalisme Baik,
Kapitalisme Buruk dan Ekonomi Pertumbuhan dan Kemakmuran
Penulis : William J. Baumol, Robert E.Litan, dan Carl J. Schramm
Penerjemah : Rahmi Yossinilayanti
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Oktober 2010
Tebal : xxiii + 600 halaman
Harga : Rp145.000,-
Sepintas melihat sampul buku, kita disuguhkan dualisme kontradiktif
arah kapitalisme; baik dan buruk. Namun, secara garis besar di
dalamnya mencoba mengulas dan memtransformasikan warna-warni
kapitalisme dalam era ekonomi global. Dibahas ihwal “rasa”
kritisisasi kapitalisme ternyata identik dengan ilmu ekonomi sebagai
“motor” kemajuan dunia modern. Seperti ditelisik Adam Smith lewat buku
The wealth of Nations, bahwa neraca perusahaan sebagai cermin
perekonomian AS, melonjak pesat sejalan dengan generatorisasi sistem
kapitalisme kewirausahaan—berjalan sinergis dan seimbang dalam doing
bussines.
Dijelaskan, pada mulanya, ide kapitalisme bukanlah sebagai entitas
implikasi organisasi ekonomi. Namun, seiring majunya zaman, asumsi
implisit itu memuai, dan implikasinya pun tidak hanya sebatas sifat
monolitik belaka, justru berkembang luas menjelma ideologi kuat
perekonomian. Ditargetkan, bisa menjadi “pemicu aktif” menghindari
krisis ekonomi global.
Adapun, sebarannya dibagi kedalam empat warna yakni; pertama,
kapitalisme arahan—negara (State—Guide Capitalism), pemerintah menjadi
“pemenang” yang memusatkan industri-industri ekonominya. Kedua,
kapitalisme oligarki (Oligarchic Capitalism), di mana sebagaian besar
kekuasaan industri dibawahi individu, per-orang-an, dan keluarga
(kelompok). Ketiga, kapitalisme perusahaan besar (Big Firm
Capitalism), aktivitas-aktivitas ekonomi besar dijalankan
perusahaan-perusahaan besar. Dan keempat, kapitalisme kewirausahaan
(Entrepreneurial Capitalism), berjalannya usaha-usaha kecil yang
inovatif memainkan peran vital dalam perekonomian suatu negara.
Tersimpul, menjadi primadona penulis adalah warna yang terakhir
(halaman 112).
Selanjutnya, akselerasi kapitalisme pun semakin memuncak, ditandai
ambruknya Tembok Berlin pada tahun 1989. Ditambahkan, demi arah
kemajuan, kapitalisme harus diimbangi dengan takaran produktivitas,
juga tingginya nalar kreatif dan inovatif. Hingga, mencapai dua kaidah
wajib ekonomi yaitu; penambahan input (modal dan tenaga kerja) dan
inovasi (perubahan teknologi dan teknis ilmu). Ide ini cukup relevan
dengan terapannya yang sukses, menuai pertumbuhan positif di
negara-negara; Amerika Serikat usai 1990-an, Irlandia, Israel,
Inggris, India, dan China yang kini menguasai ekonomi dunia.
Resep itu, tercermin dalam model entrepreneurship yang efisien.
Diupayakan, ada variabel besar dari pemegang modal, menjadi prioritas
yang bisa menularkan terobosan-terobosan “imajinatif”. Hingga, tolakan
distorsi pun menjadi kuat. Dalam catatan Bank Dunia 2006, dari
Trade-off dan kecenderungan ekonomi dunia, mutlak dikuasai dominasi
negara-negara dengan sistem kapitalisme kewirausahaan itu, didukung
pertumbuhan aset makro yang kuat.
Bagi saya, beranjak dari esensi buku yang kaya, setidaknya bisa
menjadi “obat” problematika negeri, bisa menjadi acuan dan
diaplikasikan kedalam perekonomian negeri ini yang terus dirudung
keterpurukan. Sudah saatnya kita merombak nalar mewujud sebagai
“entrepreneur”, sebagai penggelora kapitalisme kewirausahaan—tidak
hanya sebatas pegawai. Buku ini patut dibaca bagi siapa saja yang
ingin mendalami ilmu kapitalisme dan warna-warni di dalamnya. Selamat
membaca!
arah kapitalisme; baik dan buruk. Namun, secara garis besar di
dalamnya mencoba mengulas dan memtransformasikan warna-warni
kapitalisme dalam era ekonomi global. Dibahas ihwal “rasa”
kritisisasi kapitalisme ternyata identik dengan ilmu ekonomi sebagai
“motor” kemajuan dunia modern. Seperti ditelisik Adam Smith lewat buku
The wealth of Nations, bahwa neraca perusahaan sebagai cermin
perekonomian AS, melonjak pesat sejalan dengan generatorisasi sistem
kapitalisme kewirausahaan—berjalan sinergis dan seimbang dalam doing
bussines.
Dijelaskan, pada mulanya, ide kapitalisme bukanlah sebagai entitas
implikasi organisasi ekonomi. Namun, seiring majunya zaman, asumsi
implisit itu memuai, dan implikasinya pun tidak hanya sebatas sifat
monolitik belaka, justru berkembang luas menjelma ideologi kuat
perekonomian. Ditargetkan, bisa menjadi “pemicu aktif” menghindari
krisis ekonomi global.
Adapun, sebarannya dibagi kedalam empat warna yakni; pertama,
kapitalisme arahan—negara (State—Guide Capitalism), pemerintah menjadi
“pemenang” yang memusatkan industri-industri ekonominya. Kedua,
kapitalisme oligarki (Oligarchic Capitalism), di mana sebagaian besar
kekuasaan industri dibawahi individu, per-orang-an, dan keluarga
(kelompok). Ketiga, kapitalisme perusahaan besar (Big Firm
Capitalism), aktivitas-aktivitas ekonomi besar dijalankan
perusahaan-perusahaan besar. Dan keempat, kapitalisme kewirausahaan
(Entrepreneurial Capitalism), berjalannya usaha-usaha kecil yang
inovatif memainkan peran vital dalam perekonomian suatu negara.
Tersimpul, menjadi primadona penulis adalah warna yang terakhir
(halaman 112).
Selanjutnya, akselerasi kapitalisme pun semakin memuncak, ditandai
ambruknya Tembok Berlin pada tahun 1989. Ditambahkan, demi arah
kemajuan, kapitalisme harus diimbangi dengan takaran produktivitas,
juga tingginya nalar kreatif dan inovatif. Hingga, mencapai dua kaidah
wajib ekonomi yaitu; penambahan input (modal dan tenaga kerja) dan
inovasi (perubahan teknologi dan teknis ilmu). Ide ini cukup relevan
dengan terapannya yang sukses, menuai pertumbuhan positif di
negara-negara; Amerika Serikat usai 1990-an, Irlandia, Israel,
Inggris, India, dan China yang kini menguasai ekonomi dunia.
Resep itu, tercermin dalam model entrepreneurship yang efisien.
Diupayakan, ada variabel besar dari pemegang modal, menjadi prioritas
yang bisa menularkan terobosan-terobosan “imajinatif”. Hingga, tolakan
distorsi pun menjadi kuat. Dalam catatan Bank Dunia 2006, dari
Trade-off dan kecenderungan ekonomi dunia, mutlak dikuasai dominasi
negara-negara dengan sistem kapitalisme kewirausahaan itu, didukung
pertumbuhan aset makro yang kuat.
Bagi saya, beranjak dari esensi buku yang kaya, setidaknya bisa
menjadi “obat” problematika negeri, bisa menjadi acuan dan
diaplikasikan kedalam perekonomian negeri ini yang terus dirudung
keterpurukan. Sudah saatnya kita merombak nalar mewujud sebagai
“entrepreneur”, sebagai penggelora kapitalisme kewirausahaan—tidak
hanya sebatas pegawai. Buku ini patut dibaca bagi siapa saja yang
ingin mendalami ilmu kapitalisme dan warna-warni di dalamnya. Selamat
membaca!
Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, peneliti muda PWC, aktif studi
di IAIN Walisongo Semarang.