Labels

Friday 2 March 2012

Parade Nasib Buruh



Dimuat di Harian Pelita edisi Selasa 28 Februari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/17761/parade-nasib-buruh/

Oleh Muhammad Bagus Irawan

TIAP 20 Februari, “Hari Pekerja Nasional” diperingati. Ini sejalan dengan Keputusan Presiden No-mor 9 Tahun 1991 yang menyatakan 20 Februari sebagai “Hari Pekerja Nasional.” Perso-alannya, seberapa pentingkah hari pe-kerja itu, sementara hak dasar pekerja di Indonesia hingga kini masih di bawah kata “layak”? Nasib buruh Indonesia terombang-ambing. Mereka terpinggirkan. Sering-kali suara mereka menuntut kenaikan upah tak menuai hasil, bahkan seolah tak didengarkan pengusaha dan pen-guasa. Demonstrasi buruh yang ker-ap terjadi seringkali tak berbuah hasil. 

Janji manis pengusaha banyak diing-kari. Jaminan sosial pun tak menentu. Semua itu menempatkan buruh pada posisi sulit dan menjadikan mereka se-makin terpuruk di tengah himpitan har-ga yang terus naik. Begitulah gambaran buruh di Indo-nesia. Buruh sebagai sokoguru produk-si hanya diplot sebagai mesin, terus diperas demi mengejar keuntungan. Upah ditekan sekecil mungkin untuk memperbesar margin laba pengusaha. Rumus ‘ekonomi tak manusiawi' inilah yang harus dilakoni buruh. 

Soal upah 
BADAN Pusat Statistik (BPS) menilai porsi upah buruh di Indonesia saat ini masih rendah jika dibandingkan den-gan keseluruhan biaya produksi. Porsi itu pun masih jauh dibandingkan den-gan margin laba yang diperoleh pen-gusaha. Selama ini, porsi upah yang di-berikan pengusaha sekitar 20:80 terh-adap margin laba. Begitu rendah. Seti-daknya porsi itu mencapai 40:60, su-paya buruh bisa dikatakan hidup se-jahtera. Saat ini pun, upah buruh di In-donesia hanya US$0,6 per jam, semen-tara Filipina US$1,04 per jam, Thailand US$1,63 per jam, dan Malaysia adalah yang tertinggi US$2,88 per jam. Banyak pengusaha mengelak me-naikkan upah karena biaya produksi yang tinggi. Biaya logistik di Indonesia mencapa 17 persen dari biaya produk-si. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 7 persen. Ini dipicu suku bun-ga kita yang tinggi, sekitar 11 hing-ga 13 persen, padahal negara ASEAN lain hanya 5 hingga 6 persen.

Selain itu, maraknya pungutan liar (pungli) menjadi beban lain yang harus ditang-gung pengusaha dan berakibat pada tergerusnya upah buruh. Banyaknya pungli berujung pada beban produksi. Tentu saja pengusaha tak mau rugi, se-hingga membebankan biaya pungutan pada upah buruh. Pungli menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Pengusaha dan buruh menjadi korban. Pengusaha dan buruh sama-sama menjadi korban sistem. Momok inilah yang harus menjadi catatan be-sar bagi pemerintah. Statistik mencatat inflasi kita cuk-up rendah (hanya 3,8 persen dalam 2011) dan tingkat pengangguran terbu-ka juga rendah. Menurut teori “Phillips Curve”, laju inflasi rendah dan “full em-ployment” tinggi seharusnya tak akan menekan upah buruh dan menaikkan harga barang. Pemerintah cukup den-gan “fine-tuning” perubahan dalam ke-bijakan fiskal dan moneter (khususnya bunga kredit bank), termasuk mengh-entikan pungli dan birokrasi penyebab ekonomi biaya tinggi. 

Dari sudut pandang itu, tuntutan pi-hak buruh bukanlah perihal besar-ke-cilnya upah. Itu faktor penentu perbai-kan mutu hidup. Paritas daya beli (PPP) dengan berdasarkan laju inflasilah yang krusial. UMR sebesar Rp1,2 hingga 1,8 juta per bulan, jika dibandingkan data BPS 2011 tentang pendapatan nasion-al per kapita sebesar Rp31,8 juta per tahun (atau Rp2,65 juta per bulan), malah menunjukkan kesenjangan. Selain itu, rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga BBM ber-subsidi mengancam ketahanan hidup buruh. Bagaimanapun, dengan upah yang relatif sama (di bawah layak), bu-ruh ditimpa lonjakan tarif dan harga kebutuhan pokok yang dipicu kenai-kan TDL dan harga BBM. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah peribahasa yang cocok dengan nasib buruh di negeri ini. Begitulah susahn-ya hidup sebagai buruh di negeri ini. 

Siklus kisruh 
 DI negeri ini, masalah upah sangat berbanding lurus dengan kekisruhan buruh yang timbul. Seringkali konflik buruh menegang karena hak hidup bu-ruh berada di ujung tanduk. Bagaima-na tidak? Setiap tahun buruh bernasib nahas. Mereka dipaksa hidup dengan gaji minim. Bayangkan dengan UMK sebesar Rp750.000 hingga Rp 900.000, untuk mencukupi kebutuhan makan layak keluarga sehari-hari saja tak ter-penuhi, bagaimana dengan biaya seko-lah anak, biaya sandang-papan, biaya kesehatan, dan lainnya. Tekanan ini-lah yang membuat demonstrasi buruh seringkali meletup. Sebagai contoh, demonstrasi yang belakang terjadi mulai dari buruh Free-port Papua hingga Batam, Bekasi dan Tangerang, tuntutan kaum buruh se-makin menggema dan mengkhawatir-kan sampai berani memblokir jalan tol utama Jakarta-Cikampek, gara-gara ti-ada solusi tuntas dari pemerintah pu-sat.

Aksi massa besar buruh hingga ratusan ribu peserta bukan fenomena sepele yang bisa diterima masyarakat. Tren ini sekali-kali tak boleh dibiarkan berkepanjangan dan merebak. Sebab, ini bakal mengganggu ketertiban sos-ial, mempengaruhi iklim investasi dan menghambat kegiatan perekonomian nasional secara keseluruhan. Contoh tadi menjadi siklus yang akan terus berulang, apabila tak ada kepu-tusan solutif yang diwujudkan. Diakui atau tidak, masalah sistem pengupah-an buruh Indonesia sangat kompleks dan melibatkan kepentingan, penyer-taan, dan dukungan dari banyak pi-hak. Pemerintah pusat dan daerah, perbankan, pengusaha dan buruh ha-rus secepatnya “duduk bersama” untuk mendapatkan hasil bagaimana menye-jahterakan buruh. Keputusan yang di-ambil adalah terwujudnya kesejahter-aan buruh. Jalan inilah yang diharap-kan seluruh masyarakat Indonesia. Se-jatinya bangsa Indonesia sudah cukup perih dan sedih melihat parade nasib buruh yang terus saja pelik dan ter-puruk.

(Penulis peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang)