Labels

Monday 22 December 2014

Bersahaja dengan Lingkungan




Judul : Filsafat Lingkungan Hidup
Penulis : Sony Keraf
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2014
Tebal : 194 halaman
ISBN : 978-979-21-3957-0
Harga : Rp. 50.000,-


Negeri ini setiap tahunnya dirundung bencana dan musibah. Miris dan sedih, itulah ungkapan keharusan bangsa negeri ini. Kerugian moril dan materiil tak terhitung banyaknya. Seolah bencana tampak tak segan berhenti meluluhlantakkan bumi dan bangsa Indonesia. Berita duka terakhir datang dari Banjarnegara yang terkena bencana longsor hingga menyebabkan ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya mengungsi. Namun apakah bencana tersebut datang begitu saja? Ataukah ada pemicu di balik marahnya alam? Kehadiran buku berjudul Filsafat Lingkungan Hidup ini akan mengurai secara filosofis bagaimana pemantik utama bencana bisa terjadi.

Secara hipotesis, penulis menjabarkan faktor terbesar kemunculan bencana adalah kesalahan paradigma antroposentrisme. Paham ini memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam semesta dianggap sebagai tidak memunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri sehingga anggapan yang muncul selama ini adalah menempatkan alam sebagai penopang instrumental ekonomis bagi kepentingan manusia (hal 8). Buku karya Sony Keraf ini lahir dari sebuah pergumulan dan pergulatan pemikiran yang panjang yang telah dimulai sejak penulisan buku Etika Lingkungan (2002) sampai dengan buku Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (2010).

Saturday 9 August 2014

Catatan Keimanan dari Rihlah Spiritual


Judul : 7 Pengalaman Iman dari 3 Negara
Penulis : RF Bhanu Viktorahadi Pr
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2014
ISBN : 978-979-21-4050-7

Buku 7 Pengalaman Iman dari 3 Negara ini bukan sembarang catatan perjalanan seperti lainnya yang terserak di rak. Keistimewaan karya ini terletak pada setiap inspirasi dan petikan keimanan dari momentum rihlah yang dilakoni penulis. Bhanu Viktorahadi, seorang imam diosesan Keuskupan Bandung, mengawali perjalanannya dari Roma.

Setting buku memang diangkat dari pengalaman pribadi penulis tatkala menjalani tugas studi Kitab Suci di Roma dalam kurun 2001-2005. Ikhtisar buku bisa mengantarkan pembaca pada relung keimanan yang hakiki. Keimanan berbasis kesalehan sosial yang tinggi. Jadi, bukan keimanan semu karena terperangkap godaan kehidupan individualisme dan materialisme.

Gaya penulisan reportase dan diary yang dipakai Bhanu memudahkan pembaca berimajinasi mendeskripsikan kisah perjalanannya yang unik. Buku ini secara format terbagi ke dalam tujuh bagian. Pada tiap bagiannya, Bhanu piawai mengemas suasana dalam cerita-ceritanya, mulai dari catatan ringan, diikuti dengan fenomena, dan problematika sosial sebagai acuan pelajaran. Kemudian, disudahi dengan petikan hikmahnya. 

Misalnya, dalam “Mendahului Matahari Menuju Kota Abadi”, mulamula Bhanu berkisah tentang pertama kali menginjakkan kaki di Kota Roma. Dia langsung menjelajahi kota yang akan menjadi persinggahan studinya. Dia berkisah tentang pemandangan alam sekitar, keindahan arsitektur, kebudayaan ilmiah, dan penghormatan pada waktu yang dijunjung tinggi masyarakat Roma. 

Uniknya, pada kesempatan lain, Bhanu melihat fenomena pelacuran yang marak, di kawasan kumuh, dekat dengan Basilica San Pietro. Dari analisis reportasenya, Bhanu akhirnya dapat informasi bahwa para pramuria tersebut sengaja berdemo, menentang keputusan Vatikan yang menolak keberadaan lokalisasi dengan alasan apa pun karena efek bahaya dan dosa yang ditimbulkannya sangat besar. Maka, Paus pada bulan Mei 2002, membuka pengampunan dosa sekitar 500 pramuria, agar mereka beralih profesi, dan kembali menjalani keberimanan sesuai nilai-nilai moralitas dan religius (hal 15-16). 

Bhanu juga merekam gemuruh Kota Roma tatakala berlangsungnya Piala Dunia 2002.
Suasana kota diwarnai bendera tim Italia dan poster-poster pemain pujaan. Gegap gempita sepak bola menjadi magnet besar masyarakat Italia. Tak ayal, ketika kesebelasan Italia bermain, mendadak kota menjadi senyap. Jalanjalan sepi. Kantor dan sekolah diliburkan. Mereka mendadak lupa segalanya, Gereja. Ketika tim Italia dikalahkan Korea Selatan di babak perempat final, keadaan kota mendadak menjadi buas.
Orang-orang Korea dan negara lainnya yang berada di Roma, termasuk Bhanu, menerima getahnya, sepanjang bulan di-bully (hal 30-31). 

Selanjutnya, dalam judul “Kisah di Negeri Daun Mapel”, Bhanu mengisahkan bagian kedua perjalanannya tatkala menapaki tanah Vancouver di Kanada. Ada petikan hikmah yang diperoleh, yakni soal gaya hidup individualis yang menggejala. Ketika Bhanu ditugasi memimpin misa requiem, dia terkejut melihat umat hanya dua orang. Mereka adalah suami yang terbujur kaku dan istri yang menungguinya. Padahal, pasangan suami-istri tersebut memiliki anak-anak dan sanak keluarga, namun mereka seakan tak peduli untuk sekadar hormat terahir kalinya pada almarhum. Hal ini tak disangka Bhanu karena predikat kota yang menduduki peringkat teratas untuk kategori yang paling nyaman ditinggali. Maka, dalam setiap episode penggembalaan, Bhanu menyuarakan gaya hidup individualis-materialis berdampak negatif pada keimanan sosial (hal 33-34). 

Ada satu kisah yang paling menarik bagi Bhanu dalam judul “Masuk Sarang Mafia”.
Bhanu, sebelum menapaki Sisilia, memang sudah banyak membaca novel Amerika. Sewaktu Bhanu berkesempatan mengunjungi pusat markas mafia, dia tercekat menemui wajah-wajah religius. Mereka menyambutnya dengan hangat dan ramah (hal 112-114). Bhanu pun memetik hikmahnya, keimanan hadir dari lubuk hati terdalam. Dia tak bisa disangkal dan dikebiri dengan kejahatan lahiriah yang merusak sendi-sendi religiositas dan norma sosial. (Muhammad Bagus Irawan)

Tuesday 10 June 2014

Thursday 5 June 2014

Artikulasi Ratu Adil

Resensi ini dimuat di Harian Nasional 30 April 2014


Curahan Hati Tiga Muslimah

Resensi ini dimuat di Tribun Jogja



Overpopulasi dalam Naskah Fiksi

Resensi ini dimuat di Tribun Jogja edisi 4 Mei 2014


Menelisik Tekad Rantau

Resensi ini dimuat di Harian Nasional edisi 23 Maret 2014


Berbisnis dari Rumah

Resensi dimuat di Majalah Luar Biasa edisi Februari 2014


Rihlah Sosial ke Asia Selatan

Resensi ini dimuat di Harian Nasional 9 Maret 2014


Memetik Matahari

Resensi ini dimuat di Majalah Luar Biasa edisi Maret 2014

Keteladanan Sejati sang Pangon

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta edisi 31 Mei 2014

Judul  : Sang Pangon, Justinus Kardinal Darmojuwono
Penulis  : Rusmanto, Pr

Penerbit  : Kanisius, Yogyakarta

Tahun  : 2014

Tebal  : 196 halaman

ISBN  : 978-979-21-3661-6


Di Indonesia, tokoh ini tak begitu dikenal. Namun, siapa sangka bakti luhur dan budi pekertinya disegani dunia. Dialah Justinus Kardinal Darmojuwono. Dia adalah kardinal pertama Indonesia. Tak seperti laiknya tokoh protagonis yang populis, hanya ada satu buku memoir yang mengulas kehidupannya, karya J Hadiwikarta, 27 tahun silam.

Kini, lewat buku karya Rusmanto ini, umat Kristiani Indonesia diajak kembali menengok sekaligus mengambil hikmah perjuangan dan lika-liku kehidupan Sang Pangon. Kehadiran buku ini menjadi penting untuk meruwat narasi historis Keuskupan Katolik di Indonesia (halaman 2).

Imin, atau Djamin nama panggilannya, dilahirkan pada 2 November 1914 di kampung Klewonan Godean, Yogyakarta. Anak sulung pasangan Surodikiro dan Ngatinah ini sejak anak-anak sudah punya visi laku prihatin. Kehidupan keluarganya sederhana, membentuk Imin dan adik-adiknya terbiasa kerja keras.

Belajar dari Pesan-pesan Asketisme Yesus

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta edisi 15 Mei 2014

Judul Buku     : Kezuhudan Isa Al-Masahi dalam Literatur Sufi Suni Klasik
Penulis             : Hasyim Muhammad
Penerbit           : Rasail
Terbit               : Februari 2014
Tebal               : xx+364 halaman
ISBN               : 978-979-1332-71-2   



Sebagian bangsa ini terperosok dalam krisis akhlak dan spiritualitas. Krisis melanda pelajar, pengangguran, pedagang, pengusaha, hingga pejabat. Lihat saja, media saban hari menyiarkan kasus narkoba, tawuran, seks bebas, perkosaan, prostitusi, pembunuhan, perampokan, jual-beli hukum, biaya politik tinggi, dan korupsi.


Hiruk-pikuk kejahatan itu menyisakan keprihatinan lantaran terkikisnya keimanan pada Tuhan dan solidaritas antarsesama. Negeri ini kehilangan kultur dan spirit hidup yang adil, makmur, harmonis, dinamis, dan gemah ripah loh jinawi. Sebaliknya, bangsa masuk dalam kehidupan pragmatis berbasis uang. Hidup sekadar mencari uang sebanyak-banyaknya sehingga menempatkan yang kaya sebagai penguasa, si miskin budak tertindas.

Sepatutnya, rakyat menata ulang cara pandang terhadap kehidupan dunia yang hanya tempat singgah sementara sehingga harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan. Pandangan hidup seamsal ini sering disebut asketisisme atau zuhud. Ini paham kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.