Labels

Monday 30 July 2012

Menandai Permainan Pendidikan


Resensi Dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at 27 Juli 2012


Judul Buku     : Kota Pendidikan Minus HAM
Penulis         : Sofian Munawar Asgart
Penerbit        : Ombak, Yogyakarta
Tahun           : 1, 2011
Tebal           : 126 halaman
ISBN            : 978-602-8335-90-8

   Pendidikan sejatinya adalah kunci keberhasilan bangsa. Lewat pendidikan, akan menghantarkan rakyat menjadi pintar, bertanggung jawab, dan berkontribusi bagi bangsa dan negaranya. Mendapatkan pendidikan yang layak menjadi hak setiap bangsa. 

   Bangsa Indonesia telah mengamanatkan hak pendidikan bagi seluruh rakyat yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Selanjutnya makna  pendidikan dijelaskan UU
Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, berbunyi, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”Negara yang adil wajib memberikan porsi pendidikan yang sama kepada rakyat, juga memerhatikan kualitas dan mutu.

     Kenyataannya, di negeri ini pembangunan pendidikan selalu menuai sorot miris. Di mana, mereka yang miskin akan tersisih dari bangku pendidikan. Kebijakan yang diambil pemerintah, tak banyak menghasilkan, malahan membuat selubung baru penyelewengan dana pendidikan, semisal dana BOS, Sertifikasi Guru, dan lainnya. Buku berjudul “Kota Pendidikan Minus HAM” ini membagi cerita runyam dibalik lembaga pendidikan. Sorotannya adalah hak memeroleh pendidikan di kota Yogyakarta.

      Ya, selama ini kita mengenal Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Namun, dalam kacamata Sofian, kota pendidikan itu sedikit banyak telah menodai khazanah pendidikannya sendiri. Ditandai dengan wujud kapitalisme pendidikan, bisa dilihat   dari merebaknya ideologi kompetisi. Di mana, semua pihak bersaing ketat mendapatkan pendidikan dengan segala cara. Juga, liberalisasi pendidikan, yang melegalkan pandangan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus mengeluarkan uang banyak. Dan yang amat menohok, adalah kesenjangan HAM pendidikan.

      Dalam buku ini, Sofian menghadirkan obyek konkrit, adanya penyelewengan-penyelewengan pendidikan itu. Adalah karena menjamurnya sekolah berlabel “Standar Internasional”. Ya, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menandakan selubung kapitalisme,  liberalisme, baratisme, dan pelanggran HAM. Dalam sorotan Sofian, SBI ini menerapkan aturan pembayaran dengan harga yang selangit bagi para peserta didiknya. Kurikulum yang digunakan ialah standar internasional dengan pembebanan banyaknya pelajaran dan tugas yang berat. Dengan bahasa pengantar bahasa asing. Semua pertumbuhan yang dilihat hanya
dari sisi material. Ya, SBI hadir bersandar pada Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007, saat jalan pendidikan dapat dimasuki oleh investasi dan modal asing. Semakin menohok, karena masyarakat kalangan bawah tak akan mampu mencicipi pendidikan karena harganya selangit.

      Kekuarangan lainnya dari SBI, adalah porsi pendidikan agama dan moral yang dikesampingkan. Sebaliknya lebih menekankan pada kemampuan perkembangan otak belaka. Bila tak segera ditanggulangi, akan menjadi apa bangsa ini kedepan? Sejatinya, yang diperlukan bangsa adalah pendidikan nasional yang dimaksimalkan, seluruh lapisan rakyat mampu merasakan pendidikan yang bermutu, bukan pendidikan yang diglobalkan. Buku ini dengan analisa sederhana, mampu mengurai hal ihwal permainan pendidikan negeri ini. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Menafsir Toleransi dalam Teks Fiksi

Resensi dimuat di Bisnis Indonesia edisi Minggu 29 Juli 2012

Judul : Maryam

Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Maret 2012
Tebal : 280 halaman
Harga : Rp 78.000
ISBN : 9789792280098

Maryam namanya. Ia menyimbolkan sebuah prahara biru dalam kegelisahan, keterpurukan, ketertindasan, dan spirit perlawanan. Ia mengada dalam cinta, iman, dan hak asasi; bersitegang dengan diskriminasi, kekerasan, dan alienasi. Terminologi seperti itu yang dapat dibaca dari kisah Maryam disekujur badan novel karya Okky Madasari setebal 280 halaman ini. Menafsirkan karya-karya Okky memang melulu menapaki dan bermuara pada singgasana sastra kritik. Sebelumnya ada “Entrok”, yang mengkritik  kelaliman Orba, lantas “86” yang menelanjangi selang belukar korupsi yang membudaya, dan kini “Maryam”, memenjarakan akar diskriminasi yang zalim. Kebulatan Okky dengan novel investigasinya ini memang memerkaya khazanah sastra Indonesia. Kali ini, oto-kritik kepenulisan Okky menyiratkan segudang problematika intoleransi yang menggurita di bumi Nusantara. Kasus intoleransi memang menggetirkan dan menohok jalannya keberagamaan, padahal semua agama tak mungkin mengajarkan laku intoleransi (diskriminasi) itu.

Simpul intoleransi atas nama agama itu dituliskan Okky lewat pengkisahan nasib nahas yang diderita Golongan Ahmadiyah. Mengapa Ahmadiyah? Bukan yang lainnya? Latar Okky memilih Ahmadiyah beralasan, ketika golongan inilah yang paling kerap menerima tindak brutalisme, kepalan kritik ini bersandar pada fakta yang dialami di Lombok dan Bandung. Tak ayal, dalam penggarapan, 6 bulan lamanya Okky meriset Lombok (berusaha memetakan setting kisah yang cocok). Ahmadiyyah dalam hal ini bersifat simbolik, (juga bisa dimaknai dengan kasus yang menimpa golongan lain) Okky menyuarakan secara datar, tak ada pengunggulan dan terbawa sinisme amarah.

Dalam muqoddimah, Maryam adalah seorang wanita Ahmadiyyah asal Lombok, menuntut kuliah di Surabaya, dan merantau pekerjaan di Jakarta. Penokohan Okky ihwal Maryam ini mirip dengan novel “86” dengan Arimbi-nya. Sifat sentral yang menyeluruh, dengan bumbu konflik percintaan, sengketa rumah tangga, dan kemelut keluarga di kampung memuai di banyak lembaran. Sekata dengan Damhuri Muhammad yang menilai visualisasi kisah ini kentara linier dan datar, seamsal film tentang para perantau di Jakarta tahun 80-an. Cerita hanya berputar di lingkup itu, masih minim pembangunan  alegori yang menganasirkan ketragisan hidup yang begitu payah. Meskipun Okky berusaha menerapkannya dalam lembar-lembar awal, saya merasakan ada celah yang kurang menohok.
Ada momen alienasi hingga sembilu batin yang dialami Maryam dan keluarga Ahmadiyah kala itu saat diteriaki sesat dan dihajar, persis di dalam “Entrok” dengan label PKI-nya. Diskriminasi hadir ketika gelembung besar dengan egonya menuding yang kecil berbuat salah. Sayangnya, kehadiran Pemerintah dan hukum masih minim dan terkesan apatis dan masa bodoh, barangkali Pemerintah takluk pada arus besar demi kepentingan suara di Pemilu tahun depan. Melihat realita intoleransi yang tumbuh subur, tanpa ada tindakan hukum yang tegas dari pihak keamanan dan Pemerintah, memungkinkan hal itu. Wajar saja, Novriantoni Kahar mengatakan kondisi ini sebagai rezim yang tak peduli dan tuna-visi ihwal toleransi.

Ikhtiar novel ini memang menyemai butir toleransi antar-umat beragama, kelompok, dan golongan apapun. Lewat Maryam kita diingatkan agar tak terpicu suara "kotor" menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Novel ini ditutup dengan surat Maryam pada gubernur yang lalai dan abai (hlm 279-280). Corak narasi realis yang disingkap gamblang oleh Okky mecoba merapikan teka-teki dan puzzle toleransi yang terpilah-pilah di negeri ini. 

Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Jurusan Tafsir Hadist IAIN Walisongo Semarang

Monday 23 July 2012

SURAT UNTUK DIVA PRESS



Kini dunia pustaka di Indonesia mulai merangkak naik. Bangsa kita sudah mulai tercerahkan ihwal pentingnya membaca buku. Melajunya tingkat pembaca dan kehadiran penerbit lokal menjadi salah satu indikator. Bahkan, penerbit Indonesia mampu menjadi tuan rumah di tanah tumpah darah. Dunia resensi buku pun mulai menggeliat dengan banyaknya ulasan buku di pelbagai media massa. Barangkali, yang masih mengganjal kemajuan dunia literatur kita adalah masih soal mahalnya harga buku. Sebagaimana kita ketahui, harga buku selama ini dipasang dengan tarif tak terjangkau bagi kalangan miskin. Tak ayal, buku hanya tersedia bagi mereka dikalangan menengah dan kaya. Padahal begitu pentingnya makna buku, mengapa buku masih mahal? Bukankah buku itu hadir untuk dibaca?

Beranjak dari pengamatan saya sebagai penyuka buku, DIVA PRESS menjadi salah satu penerbit yang paling gencar menerbitkan buku-bukunya. Apakah buku berjeniskan Fiski dan Nonfiksi, penerbit ini selalu mengupdate buku terbarunya lewat blog-nya; http://blogdivapress.com. Tulisan ini memang hadir menandai publikasi saya mengikuti lomba SEO Blog yang diadakan penerbit itu, namun lebih dari itu; saya memandang kehadiran DIVA PRESS memang mewarnai khazanah pustaka di negeri ini. Penerbit yang berdomisili di Yogyakarta ini memang menawarkan pelbagai buku baru nan murah. Selain penerbit berlabelkan bintang ini juga selalu aktif menggelar pameran ke seluruh penjuru daerah Indonesia dan menggaet diskon hingga 70%.

Belakangan DIVA PRESS juga hadir mengadakan pelbagai lomba penulisan cerpen, novel, dan resensi buku terbitannya, juga lomba blog (sedang saya ikuti ini). Kapabilitas penerbit ini memang dibilang mumpuni dengan ide kreatif yang selalu muncul, barangkali ia hadir sebagai pemberani yang ditopang dengan modal besar untuk sepenuhnya mencerdaskan bangsa Nusantara. Lihat saja, lomba blog bertajuk Buku Murah Inspiratif Diva Press ini juga hadir dari keterseganan peyoratif dari sekian penerbitan buku yang ada; http://blogdivapress.com/dvp/2012/07/14/seo-contest-buku-murah-diva-press/


Walaupun begitu, saya memiliki catatan yang patut diperhatikan DIVA PRESS; terkait desain sampul yang barangkali masih kurang karakter. Dan, harap turut andil juga lebih banyak menerbitkan buku bergenre sejarah, sosial, humaniora, dan politik. Sekian.

Buku Kiamat, Penuh Tanya


Resensi ini menjadi pemenang 1 Lomba Review Nonfiksi Buku Penerbit Diva Press Yogyakarta JULI 2012

Judul  : Retas Simpang Siurnya Tanda-tanda Kiamat
Penulis  : Zen Abdurrahman
Penerbit : Sabil (Diva Press), Yogyakarta
Cetakan : 1, Juli 2011
Tebal  : 181 halaman
Harga  : Rp 23.000,-
Kali awal melihat cover buku ini, cukup mencengangkan, ada gambar tepi jurang diatasnya ada sebuah Al-Qur'an dan wadahnya, disertai durasi aneka warna yang mencolok. Pertanyaannya, apakah arti dan hubungan antara kiamat dengan gambar itu? Saya kira antara gambar dengan judul itu kurang relevan, terpelanting ke dalam sebuah semiotika tafsir yang peyoratif. Pendesainan sampul buku kentara semu, tak mewakili judul buku. Penempatan gambar dengan tulisan, saya kira monoton, seamsal desain buku setema terbitan Diva Press lainnya. Barangkali sense of art-nya perlu digali, diasah, dan dipercantik lagi. Patut dipertegas lagi, daya pikat dan jual sebuah buku dalam dunia pasar, salah satunya ditentukan oleh kecantikan, kecapakan, keselarasan sampul dengan isi. Di sinilah, salah satu titik lemah yang cukup vital dari keutuhan buku ini. Ketika sampul sudah distigma calon pembaca, apakah buku itu akan terjual?
Selanjutnya, ihwal judul buku. Setelah selesai membolak-balik buku sampai tuntas, saya menaruh catatan pada kesesuaian antara judul dengan isi. Buku ini berjudul rancu, karena menggunakan kata 'retas' yang artinya memutus, menghentikan, membedah akan kesimpangsiuran tanda kiamat. Kesimpangsiuran apalagi yang hendak diretas? padahal jelas bila kepercayaan terhadap tanda kiamat sudah termaktub dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadist dan diyakini sedari dini selama kita menempuh pendidikan Islam. Pertanyaannya, judul ini apakah dari penulis atau penerbit? Adakah judul ini hanya identik sebagai pemanis pasar semata? Bila benar, strategi pemasarannya, saya kira kurang tajam dan menarik pembeli. Lagi-lagi muncul kelemahan pada titik yang sama, tentang kesesuaian dan keselarasan.
Dalam sistem penulisan, Zen membagi buku kedalam tujuh bagian, setiap bagian dielaborasi dengan kaidah tanya jawab, sehingga mampu menyegarkan pemahaman pembaca. Menjadi [sesuatu] keunggulan, karena buku ini ditulis dengan bahasa populer dan mudah dipahami setiap kalangan. Catatannya, masih terdapat sekian kesalahan ketik dan penggunaan kosa kata yang tak sesuai EYD, masih ada kerancuan tulis yang akan membingungkan pembaca. Perlu prosesediting lagi untuk memerbaiki kesalahan elementer ini. Sedangkan tata letak isi buku ini secara menyeluruh, tidak ada masalah. Desain yang dipakai cukup rapi sehingga pembaca akan mudah menyelesaikan bacaannya tanpa ada hambatan.
Kemudian, saya akan sedikit mengulas substansi buku ini. Pada gagasan awal, penulis mematok booming-nya kabar ramalan suku Maya tentang kiamat pada 21-12 2012. Secara tersirat, kehadiran buku ini secara langsung ataupun tidak, akan dilatarbelakangi oleh gelombang massif berita seputar ramalan itu. Sehingga pondasi awal yang tersaji hanya spekulatif saja. Ini terbukti dengan susunan buku yang sebagian besar hanya berupa nukilan dari pelbagai kitab klasik dan kontemporer, Zen hanya berkomentar sedikit terkait dengan kabar ter-up date yang berkembang seputar kiamat itu.
Terkait isi buku, yang paling menarik adalah gagasan secara imaji, kiamat adalah tanda tanya. Dan akan hadir sewaktu-waktu tanpa kita tahu waktu pastinya. Lebih lanjut, letak hakikat kerahasiaan kiamat termaktub dalam firman Allah yang berbunyi “Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas sesuai apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa”(QS. Thaahaa [20]: 15-16). Dari ayat itu, bisa diambil hikmah bila manusia hanya dianjurkan untuk senantiasa berhati-hati menyambut kedatangan hari kiamat dengan selalu meningkatkan kualitas ketakwaan dan spiritualitas pada Sang Pencipta. Wacana kiamat tak lebih dari sebuah titik hitam dan kertas putih. Bagian dari Sunnatullah, tatkala lembar kehidupan dicipta Tuhan, pasti akan ada waktu untuk menutupnya. Hingga membuka hari pembalasan bagi laku manusia saat mereka hidup di dunia.
Terakhir terkait hasil pembacaan saya terhadap tujuan dan ikhtiar penulisan buku ini. Ikhtiar Zen memosisikan buku ini bagi mereka yang memiliki pemahaman kurang, juga demi meruwat kembali ingatan kita ihwal tanda-tanda kiamat yang harus dicermati dan diambil hikmah. Buku ini diperuntukkan bagi siapapun, terbukti dari pemakaian bahasa popular santun yang dipatok Zen dari larik awal hingga akhir. Buku ini bukanlah karya baru, melainkan hasil resume dan analisa dari pelbagai sumber kitab-kitab klasik dan baru. Bakti keilmuan Zen di sini hanya sebatas menyunting kembali naskah tentang kiamat  kedalam sebuah suguhan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Saya cukupkan review buku “Retas Simpang-siurnya Tanda-tanda Kiamat”; semoga bermanfaat.
Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang

Membincang Liberalisme Islam Indonesia


Resensi dimuat di Harian Bhirawa edisi 20 Juli 2012

Judul Buku : Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia
Penulis  : Halid Alkaf
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tahun  : 1, Desember 2011
Tebal  : xxviii + 364 halaman
Harga  : Rp68.000,-
ISBN  : 978-979-709-614-4

Perbincangan Islam Liberal selalu ramai menuai hilir mudik pemikiran, apakah itu pro maupun kontra. sejatinya, pemikiran liberalisme atapun pembaruan Islam di Indonesia memiliki sejarah dan kronologi yang panjang. Genelalogi gerakan pembaruan Islam dimulai pada dekade 1920-an, di mana wawasan Islam dan kebangsaan mencuat. Tema-tema yang dibahas kala itu seputar kekejian imperialisme dan kolonialisme, kemudian berkembang pasca kemerdekaan, ihwal tipologi ideologi dasar Negara Pancasila.

Selanjutnya pada masa 1970-an hingga 1990-an, di bawah kuasa Orde Baru. Gerakan Islam Liberal membahas sekuralisasi, rasionalisasi, modernisasi, demokratisasi, budaya populer, dan lainnya. Dilanjutkan pada masa pasca reformasi, munculnya JIL (Jaringan Islam Liberal) pada tahun 2001 menjadi pelopor gerakan liberal yang melembaga. Masa JIL ini, Islam Liberal menggema di Indonesia, seiring  munculnya argumentasi “nyeleneh” dari awak JIL yang dikirimkan ke media massa. Puncaknya, fatwa MUI yang menyatakan JIL haram.
Para penentang ini juga berspekulasi bila muasal ideologi islam liberal itu adalah program Amerika, dan JIL sebagai antek yang dibiayai Amerika. Di mana, ada kucuran dana besar dari Amerika untuk merealisasikan agenda liberalisme islam di Indoensia. Terlepas dari dugaan dan kecaman itu, islam liberal telah menjadi bahan studi dan penelitian yang menarik di Indonesia. Banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang mengurai konsistensi islam liberal, termasuk buku berjudul “Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia”. Buku yang diangkat dari disertasi Halid Alkaf ini mengurai ketergesaan semangat liberalisme islam di Indonesia.
Halid ALkaf menyoroti keunikan liberalisme Islam di Indonesia yang tak menafikan khazanah tradisi lokal, termasuk doktrin agama di dalamnya. Walhasil, tipologi gerakan liberal berbeda-beda, semisal mainstream; “modernisme ortodok” yang digaungkan Harun Nasution dan Munawir Sjadzali, “neomodernisme” yang dianut Nurcholis Madjid, “neotradisionalisme” yang dipegangi Abdurrahman Wahid, dan “rasionalisme-radikal” yang dipakai Ahmad Wahib dan Ulil Abshar. Kesemuanya menjadi rona yang apik, membangun budaya argumentatif beraneka ragam menafsiri permasalahan bangsa dan Negara terkini.

Walaupun gerakan Islam Liberal selama ini belum mampu membangun pendekatan persuasif dan strategi yang efektif agar diterima seluruh kalangan. Sampai saat ini, keterlibatan Islam Liberal di Indonesia cukup signifikan menjawab tantangan globalisasi zaman. Tak ayal, dalam buku ini Halid memandang ihwal liberalisme Islam yang akan berkembang pesat di tahun mendatang. Asumsinya, pertama, masyarakat muslim Indonesia akan lebih rasional dan obyektif menyikapi pelbagai fenomena keagamaan. Kedua, proses modernisasi dan rasionalisasi berbanding lurus dengan perkembangan sekularistik. ketiga, mencuatnya kesadaran bahwa telaah liberal juga bermanfaat bagi perkembangan peradaban manusia. Dan terakhir, agar tak kalah saing dengan ilmu pengetahuan dan peradaban modern, titah dan nilai agama harus ditafsiri secara subtantif, kontekstual, dan rasional. Sumbu-sumbu itulah yang akan memajukan proses liberalisme Islam di bumi pertiwi.

Secara artikulasi, dengan pedoman islam shohih li kulli zaman wa makan, Khazanah islam liberal memang berusaha menerobos cakrawala turats islam, menjadikannya lebih ringan dan fleksibel disertai basis pemikiran kekinian. Walhasil, kehadiran islam liberal sendiri guna mengawal islam sesuai perkembangan zaman. Di Indonesia JIL, sebagai bentu dari Islam Liberal banyak menuai dukungan dan hujatan. Terlepas, dari semua itu, seharusnya umat Islam tak sembarangan menghina sesama muslim lainnya, harus ada dialog konstruktif dengan pikiran dingin. Untuk mencapai kemaslahatan bersama. Islam adalah damai, dan berislam dengan segala rupanya, seharusnya menjadikan kehidupan dinamis dan harmonis.

Ikhtiar buku ini hendak memetakan arah perjuangan liberalism Islam Indonesia. Penulis berusaha menganalisa selubung besar Islam Liberal Indonesia dalam runut sejarah dan dinamisasi pergerakannya. Buku ini cocok dibahas siapa saja yang tertarik meneliti Islam Liberal. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Elegi Menyelamatkan Rakyat

Resensi dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at 13 Juli 2012
























Judul Buku    : Merancang Bangun Sistem Keselamatan Rakyat
Penyunting   : IshakSalim dan Lubabun Ni'am
Penerbit       : InsistPress
Tahun          : 1, Mei 2012
Tebal           : ii + 101 halaman
Harga          : Rp 30.000,-
ISBN           : 602-8384-49-6
Peresensi    :Muhammad Bagus Irawan, Pembaca buku asal Jepara

Kehadiran bencana selalu menampilkan kompilasi yang tidak menyenangkan. Di sana ada bayang duka, kesedihan, kehilangan dan sederet kerugian bagi siapa saja yang tertimpa. Bencana juga menawarkan pergulatan bagi manusia. Darinya, pantas bila sejarah manusia selalu mencoba meraba, mengamati, dan mengkajinya menjadi suatu kerangka siklus kultural yang bisa dihindari dan diwaspadai kedatangannya. Namun, ketika murka bencana sudah tak terbendung lagi, alam pun menerima menjadi bias kepasrahan. Keadaan ini memang sudah menjadi keniscayaan dari Tuhan, seperti pesan yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah 155.


Menilik keadaan negeri Indonesia, sejatinya secara geografis Nusantara terletak di lembah cincin api yang rawan bencana, tak heran bila dalam National Geographic Volcano 2010 dinyatakan; "Di pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi". Sungguh menjadi asupan jempol bagaimana mirisnya hidup di alam Indonesia yang juga terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi. Sebelumnya sudah ada buku setema berjudul "Bencana Mengancam Indonesia" yang hadir bukan untuk menakuti bangsa Indonesia, namun, menjadi bekal kompas yang memandu kita agar lebih peka terhadap kedatangan setiap bencana. Dari buku ini kita diajak agar lebih siap menyikapi bencana yang mengancam Indonesia bukanlah bencana biasa.


Hadirnya buku berjudul "Merancang Bangun Sistem Keselamatan Rakyat" ini seakan membawa "harapan baru", pencegahan dan penyelamatan diri dan lingkungan dari gejolak bencana. Juga memaparkan pelbagai bentuk bencana alam dan bencana anthropogene (bencana akibat kinerja manusia), disertai tanda-tanda awal sebelum terjadinya bencana alam. Buku ini menandakan pengalaman untuk menangkas kehadiran bencana berlarut-larut.



Buku ini mengelaborasikan pemahaman mengurus bencana berarti juga mengurus banyak hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Buku ini cukup komprehensif didukung dengan data dan pengalaman menangani bencana di lima kabupaten. Di sini, perspektif bencana tak melulu dipandang dengan mengorbankan kehidupan rakyat. Namun, lebih penting lagi dengan usaha menyelamatkan kehidupan rakyat. Dengan deskripsi ini, rakyat mendapat posisi luhur yang wajib ditolong oleh siapapun, tentunya hal ini dilakukan dengan semangat kepedulian social dan jiwa filantropis dan altruistik. 



Membaca buku ini, seakan terlihat upaya Ishak Salim mengajak pembaca untuk selalu waspada dan peka terhadap gejala-gejala bencana alam. Hal tersebut penting untuk meminimalisasi bertimbunya korban kedahsyatan amukan alam itu. Dengan bingkai steorotip yang khas, penulis menyoroti ihwal fakta burung ihwal konteks penanganan problem bencana alam. bahwa, selama ini, para ilmuwan dan ahli masih banyak kendala dalam mengaplikasikan teori-teori terkait bagaimana cara menanggulangi gempa secara komprehensif dan tepat sasaran. Disinggung, bagaimana masyarakat harus peka dan respek terhadap tanda-tanda bencana alam, dan sepatutnya selalu berkaca pada pengalaman empirik dan peringatan dini.


Selanjutnya, bencana secara konvensional akan selalu menjadi bayang-bayang kelabu-siap menerkam kapan dan dimana saja. Selanjutnya, juga dielaborasikan pendekatan integratif dan holistik dalam menangani bencana alam. Dalam pelaksanaannya, penanganan bencana mengharuskan penyelarasan semua sektor pelayanan sosial dasar dari mata pencaharian, lapangan kerja, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, perumahan dan sanitasi, keamanan, dan sebagainya, sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak dasar warga negara yang tak boleh ditunda atau dikurangi dengan alasan apapun (non derogable rights) (halaman xv). Tersimpul, demi belajar dari kesalahan, bangsa ini perlu segera mendorong dan memantapkan sistem manajemen bencana integratif dan holistic dengan dukungan kerangka kebijakan, hubungan antarstruktur, dan pengembangan teknologi serta komunikasi yang baik, cepat dan tepat. Warga menjadi aktor utama yang harus diperankan dalam mengolah kebijakan publik ini (halaman 14-20). 

Sunday 1 July 2012

Menelaah Karya Sastra Seno


Dimuat di Kompas edisi Minggu, 1 Juli 2012 (hal.22)


Judul Buku  : Sastra dan Politik; Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma

Penulis   : Andy Fuller
Penerbit  : INSIST PRESS, Yogyakarta
Tahun   : 1, Desember 2011
Harga   : Rp 30.000,-
Halaman  : 128 halaman
ISBN   : 602-8384-46-1

Seno Gumira Ajidarma, nama pena dari Yapi Tambayong, adalah salah seorang pengabdi seni tulen Indonesia. Dia eksis dalam dunia tulis dan drama. Kolaborasinya, Seno mampu melahirkan ribuan karya yang sarat makna; kritik sosial dan budaya, politik, hingga agama. Tulisan seno bertebaran dimanapun, apakah itu buku, majalah, koran dan teater. Karya Seno meliputi laporan jurnalistik, kritik film, cerpen, cerbung, puisi, hingga komik. Tema dan gaya beragam, kerap menggabungkan genre tradisional, modern, populer, selalu berubah tak bisa ditebak. Tak ayal, Seno juga menjadi pusat perhatian para akademisi luar, semisal Marshall Clark (Seno Gumira Ajidarma: An Indonesian imagining East Timor, 2003), Joseph Errington (His Master's Voice: Listening to Power's Dialect in Soeharto's Indonesia, 2001) dan lainnya.

Latar belakang itu mungkin, membuat Andy Fuller tertarik menelaah karya tulis Seno. Andy melihat karya Seno sebagai pintu pembuka teori postmodernisme, sehingga karya dan pesan yang dihasilkan begitu kaya melewati batas sastra dan mengena dengan sudut pandang kritik pedas. Walhasil, kritik tajam yang kerap dilontarkan Seno pada karyanya tak mudah dicerna pemerintah Orde Baru. Buku berjudul “Sastra dan Politik; Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma” ini sejatinya diangkat dari tesis penelitian yang mengantarkan Andy Fuller meraih gelar Phd dari Universitas Tasmania pada 2010.