Labels

Thursday 1 November 2012

Kongkalikong Korupsi APBN

Opini dimuat di Suara Karya edisi 31 Oktober 2012


Beberapa pekan lalu harian ini menampilkan berita "panas" ihwal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melempar tudingan terjadinya praktik kongkalingkong birokrat dan parlemen dalam menggarong Rancangan APBN (19/7/2012). Pernyataan ini bertalian dengan keyakinan Indonesian Corruption Watch (ICW) seperti proyek pengadaan Al-Quran tidak berawal pada saat pembahasan anggaran di Komis VIII DPR saja. Tapi sudah ada kongkalikong pada tahap perencanaan proyek tersebut (7/7/2012).


Bisa dipastikan praktik kongkalingkong ini menandai perjalanan korupsi dengan pola baru di tanah air. Bukan korupsi biasa, melainkan dengan skenario tingkat tinggi, menggerogoti rincian dan alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan strategi baru ini, korupsi yang sudah kronis diproyeksikan pada dekade ke depan akan langsung mematikan keberlangsungan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.



Benni K Harman (Ketua Komisi III DPR) dalam bukunya, "Negeri Mafia, Republik Para Koruptor: Menggugat Peran DPR Reformasi (2012)," menyebutkan korupsi di kubu DPR sudah dalam tahap gawat darurat. Tak ayal, banyak lembaga dan analis menyebut DPR menjadi lembaga terkorup. Hal ini terkait dengan berbagai kasus korupsi yang menyeruak akhir-akhir ini di lembaga tersebut, yang melibatkan beberapa anggota dewan baik anggota komisi maupun Badan Anggaran.

Sejatinya, ada dua faktor yang menyebabkan korupsi di DPR. Pertama, budaya "Pemilu Pasar" yang menghasut para calon anggota parlemen keluar modal besar untuk membeli suara rakyat (money politics). Setelah terpilih menjadi anggota DPR, lantas mereka berusaha menarik modal dan laba sebesar-besarnya, lewat jalan korupsi. Kedua, DPR menjadi lembaga yang mempunyai posisi tawar yang bagus sesuai dengan fungsi dan kewenangannya sehingga DPR seperti merasa diatas angin, dan mempunyai pengaruh besar terhadap penyelenggaraan negara. Padahal dibalik semua itu, secara luhur DPR memiliki beban dan tanggung jawab sebagai representasi dari rakyat Indonesia, bukan demi diri sendiri atau partai.

Di sini, DPR memiliki tiga fungsi istimewa. Pertama, fungsi legislasi, sebagai perwujudan kekuasaan DPR membentuk undang-undang. Fungsi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan dalam hal perancangan undang-undang. Kalau DPR tidak menjaga amanat rakyat maka DPR akan mudah dipengaruhi kepentingan terselubung eksekutif ataupun pengusaha elite yang terkait dengan penerapan UU yang dibutuhkan. Dalam hal ini DPR rentan terhadap suap, dan korupsi.

Kedua, fungsi anggaran, dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Di sinilah letak kongkalingkong korupsi APBN terjadi. Ketika terjadi kontak kerja sama antara DPR dengan birokrat dan kementerian terkait untuk menggarong uang APBN sebesar-besarnya.

Ketiga, fungsi pengawasan, DPR melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU dan APBN. Pada posisi ini DPR pun bisa menenggak uang suap sehingga mencederai fungsi pengawasan itu sendiri. Dengan kata lain, DPR tidak melakukan fungsi pengawasan bila sudah mendulang uang suap dan korupsi APBN. Budaya korupsi Indonesia sudah menarik DPR ikut berpesta pora: persoalan integritas, mentalitas dan moralitas DPR-lah yang menyebabkan dirinya termasuk mafia koruptor.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi pada APBN tidak mungkin hanya DPR yang terlibat, jelas ada peran eksekutif yang turut bergerak menenggak untung dalam berbagai proyek. Kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif ini sudah menjadi rahasia umum. Jadi, kalau pejabat tinggi apalagi misalnya Presiden tidak tahu telah terjadi penyelewengan APBN itu memang sangat mustahil. Bagaimanapun juga, proses kongkalingkong ini wajib dijerat dengan hukum yang memiliki efek jera, bahkan hukuman mati (apakah pancung, penggal, strum, tembak dan lainnya). Bila tidak niscaya persekongkolan korupsi ini akan terus membudaya.
Dalam rapat dengan Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertahanan Nasional di Kejagung (25/7/2012), Presiden SBY juga menyatakan proses alokasi APBN dan APBD masih banyak yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan terindikasi korupsi. Sontak SBY menilai usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, juga reformasi birokrasi masih sangat buruk, rapornya merah. Dalam hal ini, Presiden juga manusia yang berhak mengungkapkan kegelisahannya ini. Akan tetapi, ekspektasi Presiden yang memiliki kekuatan dan elektabilitas penuh untuk mengatur negara adalah harga mati yang patut dipertanggungjawabkan. Presiden tak bisa hanya mendakwa dan lepas tangan.

Kurtubi (2012) terkait ini mengatakan, jalan pikiran Presiden melontarkan pernyataan seperti itu demi mengharapkan dukungan publik. Dukungan ini diperlukan sekiranya kebijakan Presiden mendapatkan perlawan dari jajaran kabinet dan partai politik yang menjadi sohibnya, sekretariat gabungan. Logika presiden benar adanya, karena ia memahami benar bahwa melalui praktik politik selama ini, dukungan tiga perempat kekuatan politik yang menjadi mitra koalisinya di parlemen sangat riskan terhadap kongkalingkong kepentingan politik kekuasaan.

Sebagai contoh, saat menghadapi hak angket DPR dalam kasus Bank Century menjadi pengalaman traumatis bagi Presiden, karena suaranya dihajar dan dipinggirkan atas adanya kongkalingkong parlemen dalam pemutusan skenario kasus Bank Century. Nampak sekali, SBY terlalu galau sebagai pemimpin. Malahan terkesan Presiden sekadar melepas tanggung jawab atau upaya mempertahankan citra. Padahal, Presiden diharapkan sekali bersikap tegas, memutus mata rantai kongkalingkong dengan memecat pejabat birokrasi yang tersangkut korupsi itu, menjerat para anggota DPR, dan menciptakan hukum mati bagi koruptor. ***


* Penulis adalah peneliti Idea Studies
IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat