Labels

Saturday 30 June 2012

Menaja Komersialisasi Islam


Resensi Dimuat di Harian Bhirawa edisi 29 Juni 2012


Resensi Buku :
Judul Buku    : Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online; Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer
Penulis        : Greg Fealy & Sally White
Penerbit       : Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun          : 1, 2012
Tebal           : 320 halaman
Harga          : Rp75.000,-
ISBN           : 978-602-9402-04-9
Peresensi     : Muhammad Bagus Irawan
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.

     Buku karya Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul; "Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online", ini menaja gejala komersialisasi Islam. Ya, sejatinya agama Islam yang dianut oleh 200-an juta masyarakat Indonesia akan selalu menjadi pasar dan komoditas yang menggiurkan dan selalu diincar banyak  pelaku kapitalisme, apakah itu dari dalam atau luar.
   Pemaknaan komersialisasi yang datang bersama arus globalisasi di sini bisa bersifat negatif dan positif. Tergantung siapa dan bagaimana cara menyikapinya. Islam Indonesia yang warna-warni, dari yang moderat, fundamentalis, anarkis, hingga yang liberal tentunya memiliki pandangan dan arogansi tersendiri ihwal pemaknaan komersialisasi Islam Nusantara. Ada yang menyatakan hal ini lumrah sebagai bagian dari kemajuan, namun ada juga yang menolak karena mendangkalkan agama.
    
   Adapun Greg Fealy dalam buku ini mendefinisikan komersialisasi sebagai usaha menjadikan ajaran agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and sold for profit). Sejatinya kekuatan kapitalisme yang bergelora di seluruh dunia, barangkali sudah terlebih dahulu mengomersialisasikan agama-agama besar dunia. Di sini, buku ini mencoba mengurai dengan mengambil studi kasus dari komersialisasi agama Islam. Indikasi komersialisasi bias ditandai dengan rayuan dan jaring populer yang ditebarkan terlebih dahulu lewat iklan di banyak media massa. Kemudian juga diamini dengan bagaimana menciptakan produk-produk baru untuk memenuhi kebutuhan artifisial muslim Indonesia. Dari sana, niskala komersialisasi kentara menyelubungi paham, pandangan, dan pola pikir muslim Nusantara yang akan mengekor pada gemerlap populer. Gemerlap populer memang menjadi magnet yang mampu menarik perhatian.

      Bagi seorang yang populer, tindak-tanduk, fashion, gaya, dan mode-nya akan menjadi panutan para khalayak ramai. Seringkali, kepopuleran itu lebih dipakai sebagai ekses komoditas per-laba-an, menjadi bisnis yang menjanjikan. Di sinilah, perkara populer itu sangat menggiurkan siapa saja, tak hanya milik para selebritis, namun juga menjadi incaran para "ustadz". Sejatinya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, ustadz bukanlah sebuah tanda profetik, namun lebih menjadi artificial dan gelar dari masyarakat. Ustadz, kyai, ulama, dan lainnya ditakar dari kapasitas intelektual keagamaan yang dikuasai, diamalkan, dan disyiarkan secara sukarela sebagai bagian dari amal dan ilmu manfaat. 

    Namun, belakangan praktiknya sudah meluntur di negeri ini. Seiring dengan tuntutan ekses globalisasi dan perkembangan teknologi secara massif, tak ayal banyak Stasiun TV, radio, surat kabar, berlomba-lomba mencomot para ustadz, kyai dan ulama seraya menyulapnya menjadi sosok yang sohor disebut Ustadz Seleb. Komersialisasi pun berjongkrak tatkala para ustadz seleb ini laku berdakwah dibarengi dengan tariff dan kucuran honor yang tinggi. Dalam buku ini dikatakan sebagai bisnis moral. Ya, bisnis itupun sontak memiliki lahan perniagaan yang gemuk dengan konsumen yang selalu dipaksa lapar dahaga rohaniahnya.
  
     Selanjutnya, bisnis fashion religi dengan segala produk "busana muslim" dan seabrek aksesoris yang menyertainya. Lihat saja, banyak contoh dari ustadz dan ustadzah yang berceramah selalu memakai busana muslim model terbaru, iklan, tabloid, dan surat kabar yang acap menampilkan pesona pakaian "islam" yang indah, tentunya dengan tariff yang mahal. Ya, secara sederhana bisa kita rasakan, transformasi berpakaian muslim Indonesia sedari dulu yang sederhana sekedar menutupi aurat. Kini telah dielaborasi menjadi lahan bisnis dengan omset yang luar biasa, terlebih dengan produk yang setiap bulan selalu anyar.
Di samping itu, masih banyak sederet contoh kasus yang dibedah oleh kedua penulis, semisal layanan fatwa online, pemberian infaq via telepon selular dan layanan elektronik bank syariah, pengobatan medis secara Islam dan lainnya. 

    Ikhtiar buku ini seperti dijabarkan dalam sinopsis, berupaya memaknai perkembangan terkini dari sikap umat Islam Indonesia saat berinteraksi dengan dunia modal yang konsumeristik dan kadang-kadang menggantikan ekspresi lain atau yang lebih tradisional dari keyakinan mereka. Selain itu juga meneliti beberapa dari ribuan cara dimana Islam diekspresikan dalam kehidupan kontemporer dan politik Indonesia. Buku ini apik sebagai bahan perenungan dan penyadaran. Bahwa gejala terburuk dari komersialisasi ini bagi seorang muslim adalah mewabahnya budaya konsumerisme dan materialism terselubung yang tak kentara namun sudah menjadi suatu kelumrahan.
Selamat membaca. ***

Thursday 28 June 2012

Mengembangkan Hidup Bertoleransi lewat Novel


Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin 25 Juni 2012

Dalam novel ketiganya bertajuk Maryam ini, Okky "melantunkan" lagu lama yang memang menjadi karakter penulisan sastranya. Novel sebagai alat perjuangan yang menyibak segala ketertindasan humanis. Sebelumnya, lewat novel 86 yang menghantarkan Okky meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011, dia menarasikan angin KKN yang membudaya masif dalam peranti birokrasi dan korporasi.

Kini, dalam karya Maryam, Okky meneriakkan suara korban diskriminasi atas nama agama, suara miris golongan tertentu yang acap dijadikan sasaran amuk massa. Di sini, pisau analisis Okky memang memadai. Dalam penggarapan novel Maryam, Okky telah meriset di di wilayah yang dijadikan setting, Lombok, sekitar 6 bulan. Praktis, novel ini sejatinya memiliki penokohan fiktif namun berlatar realitas yang ditulis dan diceritakan dari sudut pandang orang-orang tertindas.

Patutkah orang atau sekelompok orang menjadi korban diskriminasi, menderita karena ketidakadilan, terkucilkan karena minoritas, terusir dan terisolasi karena menyimpang dari masyarakat umumnya? Ironi dan realitas inilah yang mengharu biru dikisahkan Okky secara tuntas dalam novel tersebut. Pembaca diajak mendalami sisi lain kemanusiaan. 

Novel dibuka dengan cerita pedih tokoh sentral Maryam, alur maju-mundur (2005, 2001, 1997, 1998, 2011). Dia adalah sosok perempuan muda yang cerdas, teguh, menonjolkan pengaruh dan kekuatannya dari halaman mula hingga tamat. Cerita dimulai saat Maryam kembali ke kampung halamannya di Lombok, setelah hampir 10 tahun merantau di Jakarta. Maryam merasa ragu dan gamang setelah menuntaskan perceraian dengan Alam. Karena pulang ke kampung Gerupuk sama halnya menyirami kenangan pahit yang pernah ditinggalkan. Maryam memberanikan diri pulang, namun tak disangka-sangka keluarganya sudah tidak di sana lagi. Rumahnya kosong (hlm 5-23). 

Diceritakanlah, sekitar tahun 2001, kejadian tragis di Kampung Gerupuk dan sekitarnya. Keluarga Maryam, yang puluhan tahun hidup tenteram dan harmonis dengan warga kampung, tiba-tiba terusir. Ya, sebelumnya memang ada sekelompok propagandis yang memanaskan situasi. Tahun 2003, setelah hampir dua tahun terlunta-lunta mengungsi, lamat-lamat bisa menata kehidupan dan kembali tinggal di rumah di sebuah perkampungan yang terpencil. Dari sini, masalah tak selesai begitu saja. Sekitar Juli 2005, ada kabar tersiar lewat televisi. Gerombolan orang sedang bertengkar, adu fisik, lalu penggempuran bangunan (halaman 219).

Rumah mereka di Gegerung kini sudah hangus terbakar dan harta benda berharga sudah habis dijarah. Novel ini menggambarkan begitu pedih dan malangnya kehidupan orang yang terusir dari tempat yang telah dibangun dengan bekerja keras, hingga terdampar dalam pengungsian (hlm 185-231).

Bagi saya, ikhtiar novel ini hadir untuk menyemai butir toleransi antar-umat beragama. Pengangkatan tema semata sebagai percontohan mengingat kasus intoleransi antar-agama di Indonesia begitu masif dan menakutkan. Kita diingatkan agar tak terpicu suara "kotor" menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Novel ini ditutup dengan surat Maryam pada gubernur yang lalai dan abai (hlm 279-280). Pada akhirnya keyakinan adalah kebebasan dan kehendak hati nurani setiap manusia yang harus dihormati. 

Diresensi Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang

Judul : Maryam 
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Maret 2012
Tebal : 280 halaman
Harga : Rp 78.000
ISBN : 9789792280098

Narasi Muslim Tionghoa Nusantara


Dimuat di Malang Post edisi Minggu 24 Juni 2012

Judul Buku      : Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis            : Afthonul Afif
Penerbit          : Kepik
Tahun               : 1, Februari 2012
Tebal                : 376 halaman
Harga              : Rp79.000,-
ISBN                : 978-602-99608-2-2
Peresensi   : Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Narasi seputar sejarah Tionghoa di Indonesia selalu memantik keterikatan yang pahit. Secara figuratif, kehadiran Tionghoa selalu berdampingan dengan stigma panas dari bilik kebangsaan Nusantara. Bahkan, nasib mereka seolah identik sebagai “target empuk” di setiap krisis ekonomi dan sosial melanda negeri. Mereka dijadikan sasaran luapan nafsu amarah bangsa. 

Menilik histori, dalam tragedi Batavia 1740, terjadi peristiwa getir pembantaian dan pengusiran etnik China itu dari Batavia. Setidaknya ada 20.000 orang Tionghoa menjadi korban. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-China. Setelahnya, sederet peristiwa tragis pun tak henti mengintai kaum Tiongkok sebagai sasaran luapan amarah.

Bila ditinjau lagi, kesalahan terbesar bangsa pribumi Indonesia adalah telah terperdaya politik fitnah  Belanda. Dalam hal ini Belanda melancarkan aksi propaganda hingga muncul kesan kesenjangan antara orang China yang mayoritas pedagang dengan pribumi yang petani. Tak heran, disadari atau tidak, masyarakat masih memiliki stereotip tertentu atas etnis Tionghoa, bahwa mereka umumnya kaya, cenderung mengeksklusifkan diri, pelit, etnosentris, dan apatis. Barangkali stigma itu benar-benar memudar tatkala Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur, atas jasanya dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia) menghapus segala sistem yang berbau diskriminasi Tiongkok.

Apa motif dibalik propaganda dan adu domba Belanda? Sejatinya, pembauran muslim Tionghoa dan pribumi sebenarnya telah terjadi. Persatuan itu sangat menghawatirkan dan akan mengancam kelanggengan penjajahan Belanda. Namun, akhirnya Belanda bisa memecahkan dengan mengembangkan siasat politik adu domba (devide et impera). 

Politik ini membagi penduduk menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi atau inlanders yang mayoritas muslim. Belanda tampaknya memang takut melihat Tionghoa dan muslim bersatu, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang bisa memisahkan dua golongan ini. Maka pada abad ke-18, Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam dan melarang kaum muslim pribumi menikah dengan Tionghoa. Peraturan produk kolonial itu kian menjauhkan Tionghoa dari pribumi.

Buku karya Afthonul Afif ini mencoba merangkum narasi muslim Tionghoa secara empatik. Gagasan yang dicerna Afif ini bersumber pada bukti sejarah dan penelusuran teks terkait eksistensi Tionghoa Islam di Indonesia. Tak ayal, analisa Afif kentara ketika membahas peran besar mubaligh Tiongkok dalam proses dakwah Islamisasi Indonesia sekitar abad XV atau XVI masehi. Karya Afif ini menjadi salah satu penghargaan besar terhadap identitas China muslim di Indonesia. Ya, sampai kini bisa dikatakan, sangat jarang karya ilmiah pribumi yang membahas secara ekstensif ihwal kontribusi muslim China di Indonesia.

Bila ditelusuri dari sumber sejarah, sejahrawan memerkirakan jangkauan muslim China hadir ke Indonesia ditengarai sejak abad XIII sampai XVI masehi. Hal ini ditandai dengan pelbagai catatan pengelana asing, kronik Cina, teks lokal dan lisan Jawa, juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, pintu makam Sunan Giri di Gresik, menara masjid pecinaan Banten, dan banyak bangunan lainnya menunjukkan bukti kuat peranan muslim China membangun budaya Islam Nusantara. Hal ini sangat relevan dengan populeritas cerita “Wali Songo” (Wali Sembilan) yang berjuang dan berkontribusi besar dengan penyebaran Islam di Jawa. 

Jikalau dilacak, para wali itu merupakan keturunan China. Sebagai analisis dasar, nama Sunan Bonang sebenarnya diambil dari identitas China Bong Ping Nang begitupun dengan Raden Fatah juga punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa China berarti “yang gagah” (hal.128-169). Adapun ihwal asal-usul kedatangan muslim Tiongkok ke Nusantara, Afif mendatangkan argumentasi konstituen, bahwa pada mulanya muslim Tiongkok hadir bukan untuk dakwah, melainkan hijrah mencari tempat aman, menghindari kemelut perang dinasti China kala itu. Umumnya mereka hijrah dalam kelompok keluarga secara bertahap. 

Di Nusantara mereka membuat kawasan pecinan, kemudian secara bertahap mulai berbaur dengan pribumi. Begitu pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari awak pelayaran muhibah adalah muslim. Pada pertautan antara China-pribumi terjadi transfer ilmu dari pandai Tionghoa ke penduduk pribumi ihwal strategi ekonomi, teknik pertukangan, ukir-ukiran, pertanian, perikanan, dan lainnya. 

Dari segenap data yang diuraikan Afif dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia patut berterima kasih pada jerih payah Tionghoa. Bagaimanapun, kiprah besar Tiongkok di Indonesia berperan besar turut membangun agama Islam, keilmuan, budaya dan tradisi Nusantara. Buku ini mengandung ikhtiar perekatan narasi pribumi-Tionghoa sebagai satu kesatuan bangsa, lewat titah “Bhinnekha Tunggal Ika” tak hanya dengan Tionghoa saja, namun seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari rajutan ras dan asal-usul harus tetap berjuang bersama membangun negeri secara dinamis dan harmonis. Buku ini memang laik dibaca siapa saja, terutama penyuka kajian sejarah. Karena hakikat dan penelusuran sejarah berbanding lurus dengan pelajaran moral yang dapat dipetik. Selamat membaca. (*/fia)

Belajar dari Punakawan


http://www.harianbhirawa.co.id/opini/48809-belajar-dari-punakawan

E-mailPrintPDF


Resensi Buku
Judul buku    : Punakawan Menggugat
Penulis         : Ardian Kresna
Penerbit       : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan       : 1, 2012
Tebal           : 368 halaman
ISBN           : 978-602-97827-7-6
Harga          : Rp45.000.00
Peresensi     : Muhammad Bagus Irawan
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang

Wayang menjadi kisah epik karya intelektual Jawa kuno yang bermuatan watak dan budi pekerti menuju keluhuran. Sosok lakon pewayangan asli nusantara menandai eksistensi keteladanan yang khas dalam citraan bentuk unik. Seamsal Punakawan yang digawangi; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, menjadi tokoh sesepuh yang dituakan, pemimpin yang tegas dan bersahaja, cendekiawan yang sabar dan terbuka. Gareng, adalah sosok pejuang yang berani menderita, memiliki keteguhan hati dan tekad baja. Ia memiliki mata juling, lengan dan kaki bengkok dan mulut lucu yang menggambarkan kepribadian yang berpandangan lurus, pendiam, tanpa pamrih menolong dan berhati-hati dalam mengambil sikap.

Petruk menandai sosok aktivis yang mengkritisi ketidakbenaran pemerintah. Memiliki hidung panjang berarti pandai bicara dan melawak, dalam arti memiliki tanggung jawab moralitas ilmuwan untuk menyuarakan hak rakyat. Sedangkan Bagong digambarkan sebagai pemuda tambun yang sederhana, lugu, penurut, sabar menanggung malu dan sedih, dan memiliki ketabahan hati super. Bagong lebih kental sebagai sosok santri ataupun mahasiswa yang memiliki spirit belajar dan berjuang atas nama keadilan. Dapat disarikan, bila konsep Punakawan menjadi perwakilan ideologis kaum terpelajar yang peduli pada nasib rakyat, menjadi figure pembebas yang bertanggungjawab.

Novel garapan Ardian Kresna bertajuk "Punakawan Menggugat" ini pada dasarnya bersubstansi sebagai ikhtiar membumikan tradisi keluhuran Jawa. Karakter bahasa penulisan yang merakyat bersanding dengan Setting latar historis dan imajinatif menjadi buah kreatifitas yang apik. Menjadikan pesan reflektif "Punakawan Menggugat" bisa dipahami sebagai daya tegur yang luhur bagi rakyat untuk berani menegakkan kebenaran.
Dikisahkan pada suatu masa, ada sebuah kerajaan bernama Amarta yang tumbuh pesat menjadi negeri besar, kuat dan dikagumi bangsa-bangsa lain. Negeri itu dipimpin oleh prabu Yudhistira dari keluarga Pandawa yang pesohor dengan jatidiri yang teguh, adil, dan bijaksana. Tak ayal masyarakat pun begitu mengelu-elukan kepemimpinannya. 

Sayangnya, ditengah riuh-sedan puja-puji itu lantas Yudhistira merasa jumawa dan perlahan menjadi penguasa mutlak yang diktator. Alhasil Yudhistira pun mulai alpa dan lalai menjalankan pemerintahan bersandar menuju kebaikan rakyat. Puncaknya di saat negeri Amarta dilanda bencana dan musibah kelaparan, sang raja malah sibuk membangun candi megah berbahan emas di pertapaan Saptaarga sebagai persembahan bagi Abiyasa sang nenek moyang Pandhawa. Nahasnya, pembangunan candi di pucuk gunung itu malah menjadi petaka, merusak keseimbangan alam dan mengirim banjir bandang bagi rakyat Amarta (hlm 240).

Dari sini, titik tolak kesejahteraan negeri Amarta menjadi limbung. Kebijakan yang egois dan semrawut itu membuat rakyat marah. Kericuhan pun bergejolak di Amarta. Di tengah krisis dan eskalasi itu, muncullah tiga saudara Punakawan (Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai figur ksatria yang mampu memadamkan kericuhan antar warga itu.  Mereka pun mulai rembug bersama menentukan nasib rakyat, hingga diputuskan kesepakatan bulat untuk meruntuhkan dinasti yang tengah zalim dan lalai. Strategi disusun dan serangan pun dilancarkan. Seketika itu rombongan rakyat dipimpin Punakawan menuju kerajaan. 

Akhirnya, taktik Punakawan untuk merebut pusaka kerajaan sukses dan mampu memukul mundur pasukan perang Pandawa yang kalang kabut. Kerajaan Amarta dan lainnya pun luluh lantak dibuatnya. Ditengah kondisi peperangan dan emosional yang kacau balau saat itu, datanglah tetua Punakawan, Kyai Semar, yang menjadi peredam dan penenang kegusaran dan amarah rakyat. Kyai Semar yang mencapai bakti luhur lantas menasihati rakyat agar selalu sabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia menjelaskan bila kecerobohan pemimpin yang murka dan terlena nafsu dunia akan selalu menjadi bencana bagi rakyat dan negeri yang dipimpinnya (hlm.362). Kyai Semar juga menghimbau rakyat agar bersikap toleran. Kehidupan bermakna jikalau diawali guyub rukun, perbedaan harus dikikis menjadi keharmonisan. Dari situ benih negeri makmur dan sentosa akan tumbuh (hlm. 365).

Membaca novel ini sekaligus mencitrakan problematika akut yang dialami Indonesia kini. Dari sana, penulis berikhtiar bagaimana Punakawan Menggugat bisa diaplikasikan oleh masyarakat untuk menggugat keadilan. Sekian. ***

Telaah Labirin Iklan


Resensi Dimuat di Malang Post edisi 9 Juni 2012

Judul             : Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan
Penulis         : Kathy Myers
Cetakan        : 1, Februari 2012
Tebal             : XX + 200 halaman
ISBN             : 978-602-8252-65-2
Harga           : Rp 45.000

Pernahkah terpikir bahwa keseharian kita diselimuti dan dibentuk oleh selubung peredaran iklan? Dan neraca pikiran kita juga seringkali tersihir oleh iklan? Juga dampak besar yang diakibatkan oleh iklan pada pola tingkah keberlangsungan hidup kita? Ya, bila dipikir lebih dalam, sejatinya iklan menjadi metafora yang selalu menggelayuti dan berpengaruh besar pada kehidupan manusia.

Filosofi iklan dalam sejarah sudah digunakan sejak zaman Yunani kuno. Kala itu iklan hanya lewat sambung lidah orang ke orang. Hingga kini, iklan telah jauh berkembang, bertransformasi dengan kecanggihan media dan menjadi ilmu pengetahuan.  Bayangkan saja, di manapun kita berada, iklan selalu menjejali kehidupan, baik itu lewat media visual (baliho, kertas selebaran, surat kabar, sticker dan lainnya), audio (radio dan lainnya), maupun audio-visual (televisi dan lainnya). 

Disadari ataupun tidak, siklus peredaran ini terus-menerus menyerang panca indera manusia, menggetarkan pikiran, ruang batin, dan nafsu emosi. Hingga pada akhirnya masyarakat massif sebagai sasaran periklanan merasa terbiasa dan pada akhirnya menyanggupi ajakan iklan. Ihwal di balik selubung periklanan inilah yang coba ditelanjangi Kathy Myers dalam buku bertajuk “Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan” ini. Di sini, Myers seorang pakar kajian bahasa dan media ini mendedahkan bahwa masyarakat Inggris sebagai sampel kala itu telah menjadi budak iklan. 

Dalam perkembangannya Manusia secara sadar atau tidak, terperdaya dan menjalankan apa yang dituturkan iklan. Tak ayal, iklan pada akhirnya menjadi senjata utama kapitalisme. Lewat “sihir” iklan pula, godaan produk kapitalisme menjerat masyarakat untuk bertekuk lutut. Buku ini disajikan secara komprehensif dengan analisis isu dan gambar contoh iklan pada banyak halamannya. Hasil penelitian Myers di sini mengambil beberapa kasus dari sindikasi iklan ekonomi dan politik. 

Sebagai contoh, bagaimana kekalahan telak Partai Buruh pada pemilu 1986 ditengarai karena daya pencitraan yang konvensional—hanya lewat mimbar ke mimbar, mereka kalah dari partai pemenang yang telah menggunakan jajahan iklan media. Hal ini adalah bukti nyata cengkraman iklan telah meruntuhkan elemen dasar keyakinan kuat  masyarakat Inggris, bahwa khazanah politik yang baik tak memerlukan penjajah untuk mempromosikannya. Karena, dominasi iklan malah akan mencederai identitas politik yang bersih dan nilai peyoratifnya sarat dengan laku kotor korupsi (hlm. xiv).

Menilik gagasan Gillian Dyer  dalam bukunya Advertising as Communication, menjelaskan periklanan sebagai alat untuk mempromosikan  daya saing dan perolehan pribadi sebagai tujuan utama dalam hidup, dengan mengorbankan imbalan nirwujud, seperti layanan sosial dan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Bagi Myers, hal ini malah menempatkan iklan sebagai sosok sihir manipulatif yang menarik bagi emosi bukan logika. Akumulasi iklan berusaha menyajikan sensasi lain sesuai produk kapitalis yang terus berkembang demi meraup laba sebesar-besarnya.

Lebih lanjut, iklan selalu merayu masyarakat untuk membeli segala produk yang diinginkan nafsu emosi secara irasional. Padahal sejatinya kita tak memerlukan produk itu, namun tetap saja kita beli, karena sihir iklan yang memesona. Di sini, iklan menyebabkan degradasi moral masyarakat sehingga berwatak konsumerisme. Bertolak belakang dengan prinsip hidup sederhana, membeli produk sesuai kebutuhan secara rasional.

Marxisme dan Kapitalisme

Dalam buku ini, Myers juga mengelaborasi kisah sengit perseteruan kaum Marxisme melawan kaum Kapitalisme ihwal penjajahan iklan. Gagasan Marxisme mendorong terwujudnya “manusia alamiah”, yang bersandar pada rasionalitas diri sehingga dalam menjalani kehidupan pun hanya menggunakan benda-benda yang berguna.  Bagi Karl Marx sendiri, benda berguna adalah benda yang dibutuhkan dan tak dinodai gaya, mode, citarasa, dan nilai sosial.  Semisal, roti, kain, kayu, besi, air, dan sistem pemanasannya, semua muncul dalam pikiran sebagai benda yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

Dalam pandangan Darwin lewat analisis evolusi-nya, manusia akan berkembang secara alamiah ketika mereka dilepas dari segala jeratan tipu daya kapitalisme, manusia alamiah hadir dalam sosok bersih dan suci. Sebagai contoh Nabi Adam sebagai manusia pertamadan adalah sosok suci, sampai kemudian terperdaya rayuan setan ihwal buah khuldi. Dari contoh itu bisa dipetik, bahwa rayuan setan dengan buah khuldi sebagai iklan yang dengan kesadaran palsu menjerat dan menjerumuskan Adam hengkang dari surga Tuhan (hlm.xiii)

Kemudian teori manusia alamiah ini pun ditanggapi tokoh ekonomi kapitalisme semisal Jeveons, Menger dan Wairas yang merintis teori “manusia rasional” seperti disebut dalam buku Capitalism in Crisis. Bahwa nilai kebutuhan manusia tak bisa dipandang dari satu komoditas saja. Bahwa ilmu ekonomi harus mampu merupa banyak produk dalam satu komoditas yang dibutuhkan manusia. Walhasil nilai produksi itu dipandang langkah rasional memaksimalkan hasil dan meminimalkan biaya.

Bagi saya, buku yang mengulas seluk-beluk iklan dan berbagai sistem ekonomi yang berkutat di belakangnya ini menjadi buah karya yang menarik. Buku ini secara sederhana menuntun pembaca memahami selubung iklan yang dapat menyihir siapa saja. Bahwa iklan itu menjadi air yang terus mengalir dari hulu sampai hilir, siap menerjang apa saja yang dilewatinya. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang
CP: 085865414241