Labels

Sunday 20 June 2010

Kilas Resensi


Siluet Keteladanan Obama Kecil


Judul : Obama Dari Asisi

Penulis : Damien Dematra

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Juni 2010

Tebal : 244 halaman

Harga : RP 45.000,-

Masa kecil merupakan masa yang menyimpan belbagai kenangan yang unik dan indah untuk sekedar dilupakan. Begitu pula dengan kenangan Barry, ya, nama kecil Barrack Obama, yang sekarang menjadi Presiden Amerika Serikat pertama yang berkulit hitam. Kenangan itu lahir dan menjadi rajutan kisah tersendiri dari kehidupannya bersama teman, guru dan orang sekitar di SD Fransiscus Asisi.

Kisah ini berawal dari kedatangannya di Indonesia tahun 1967 bersama ibunda Ann Dunham Soetoro dan ayah tirinya Lolo Soetoro. Barry saat itu masih buta sama sekali tentang Indonesia. Hal yang pertama kali dikenalnya adalah kata “te-ri-ma-ka-sih”. Kata itu dikenalnya tatkala Lolo mengucapkannya kepada petugas pembawa kopor di bandara. Dia tentunya masih ingat hal itu tentunya, sehingga dia bisa menarasikan ihwal pandangannya tentang indonesia lewat buku pertamanya yang berjudul “ Dreams from my father”. Dalam bukunya ini dia menyatakan “ tinggal di Indonesia menanamkan pemahaman abadi dalam pemikiran saya selama masa-masa pembentukan jati diri”.

Inilah kompilasi unik yang coba kembali diangkat oleh Damien lewat novelnya yang berjudul “ Obama dari Asisi” setelah sebelumnya menulis “Obama Anak Menteng”. Namun jika dilihat dari alur kisah Obama, novelnya ini bisa dikatakan “telat terbit” dari novel versi Obama pertama. Laiknya novel lainnya, Novel ini berisi dengan prolog, epilog, dan 34 bab. Novel ini merupakan hasil padu citraan memoar teman-temannya di SD Asisi dulu, yang disini diperankan dalam tokoh: Dodot, Yunaldi, Herman, Ria dan lainnya. Merekalah yang sehari-harinya bermain dan mengukir kisah bersama Barry. Mulai dari bermain pletokan, prosotan, kelereng, bola kasti, dan petak umpet, hingga berwisata kuliner bersama: makan singkong, bakso, gulali, krupuk, dan lain sebagainya yang menjadi makanan khas Indonesia.

Saat itu Barry berusia 6 tahun, tentu saja dia harus segera sekolah meskipun tidak bisa berbahasa Indonesia. Hingga ayahnya Lolo-yang berdinas di bagian topografi TNI AD- mendaftarkannya ke SD Fransiscus Asisi yang berada tidak jauh di belakang rumahnya. Ada hal yang menarik disini; Barry didaftarkan dengan nama Barry Soetoro, beragama islam, dan dicatatkan sebagai warga negara Indonesia. hari pertama masuk sekolah Barry yang bersemangat masih merasa galau dalam hatinya; disamping ketidakmampuannya untuk berbahasa Indonesia, postur tubuhnya pun berbeda dengan anak lainnya. Beruntung Barry yang berkulit hitam dan berambut keriting bertemu seorang guru yang dengan baik hati menerjemahkan setiap pelajaran yang tidak dimengerti, bahkan memberikan pelajaran tambahan bahasa Indonesia.Lambat laun Barry pun mampu menguasai bahasa Indonesia, tentunya dengan logat yang masih kaku.

Diceritakan disini, Israella, guru pertama Barry, menyatakan bahwa Barry adalah pribadi yang cerdas, pantang menyerah, dan luwes dalam bergaul. Ini dibuktikan dengan dengan cepatnya dia menyesuaikan diri dalam lingkungannya dan prestasinya pun semakin meningkat. Kesehariannya selalu tersusun rapi dengan jadwal yang ditetapkan ibunya; sekolah di pagi hari, boleh main sampai siang, dan harus di rumah dan belajar sewaktu sore hingga malam. Inilah yang pada akhirnya membentuk kedisiplinan dalam dirinya. Sementara guru keduanya cecilia mengenang bahwa Barry sering menjadi pemimpin saat murid –murid berbaris sebelum memasuki kelas. Dan bagi teman-temannya, Barry adalah teman yang suka membantu dan menyenangkan. Pernah suatu hari di sekolahnya ada perselisihan antar kakak kelasnya dan dengan sigap Barry yang saat itu sedang senam bersama teman-teman sekelasnya, mencoba melerai. Obama kecil seakan memiliki empati dan rasa tanggung jawab yang tinggi yang membentuk suatu keteladanan dalam dirinya.

Bagi saya novel ini merupakan bumbu penyedap yang menjadi faktor penting terwujudnya sajian yang lezat; yaitu pribadi Barrack Husin Obama yang patut menjadi teladan. Seorang liberal dan humanis yang mempunyai gagasan besar menciptakan perdamaian dunia dan keadilan kemanusiaan. Selanjutnya dalam novel ini, selain kesalahan dalam penulisan, bahasa sastra yang diuraikan damien belum begitu nampak, namun dia bisa menyajikannya dengan cukup renyah dengan belbagai makna dan pelajaran hidup di dalamnya. Penulis menutup novel ini dengan cerita kerinduan dari teman-teman dan guru Barrack Obama dari SD Asisi yang ditinggalkannya tanpa kabar saat akhir kelas tiga. Dan mereka pun akan selalu menanti kehadirannya di Indonesia, entah kapan setelah bulan Juni ini, rencananya untuk datang kembali tertunda. Ada apa Obama?

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pegiat di Pesanggrahan Kalamende, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.

CP : 0858 654 142 41


Riwayat Resensiku


Dimuat di Koran Jakarta edisi 12 Juni 2010

Lika-Liku Kehidupan Buya Syafi’i

Judul : Si Anak Panah

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Mei 2010

Tebal : x + 260 halaman

Harga : RP 50.000,-

ISBN :978-979-22-581-2

Novel ini merupakan lanjutan dari novel pertama si anak kampoeng. Merupakan bagian dari 5 serial novel yang mengisahkan kehidupan Syafi’i Maarif. Disini Damien, yang merupakan penulis skenario, mencoba mengeksplorasi bebas kemampuannya dalam mencipta novel.

Novel ini berisi 37 bab, layaknya novel-novel sejenis lainnya. Dalam bab pertama, penulis menceritakan perjalanan Syafi’i ke Pohgading, Lombok Timur. Dimana saat itu Pi’i muda sebagai alumnus muallimin jurusan A, lebih terfokus terjun di masyarakat. Sebagai anak panah Muhammadiyah, sebutan bagi mereka saat itu. Mereka adalah ujung tombak Muhammadiyah yang diutus menjadi guru dan muballigh, dan harus siap ditempatkan dimanapun, demi bakti terhadap agama, nusa, dan bangsa.

Dengan tugas barunya di tanah Lombok, hari demi hari dihabiskannya untuk mengajar. Ada hal menarik di tempat ini, adanya kemiripan dengan kampung halamannya, selain pesona keindahan alam yang masih asri, makanan-makanannya serba pedas dan merangsang, sama halnya dengan tipikal orang minang, memang benar-benar sesuai dengan nama pulaunya : pulau Lombok (lada). Berada disini Syafii selalu terngiang-ngiang dengan rumah, terutama kepada ayahnya yang sudah dua tahun meninggal di Calau, Sumpur Kudus. ini yang membuat dirinya tidak bertahan lama disana, dalam tempo setahun Syafii pun pulang kampung dengan membawa dua ikat bawang, yang akan dijadikan bibit.

Perjuangan Tanpa Henti

Sesampainya di Padang, Syafii yang hanya punya sedikit bekal, berencana nebeng truk ke pasar kumanis. Dia pun menginap di rumah saudagar kaya; syafii pun cukup kenal dengan keluarga itu, termasuk si gadis celana merah yang dipanggil Lip, kelak akan menjadi istrinya. Tiba di pasar Kumanis dia bertemu adiknya, Syukri Maarif berusia 13 tahun, keduanya pun berpelukan melepas segala keharuan dan perjuangan hidup setelah ditinggal bapak. Setelah itu dia melanjutkan ke rumah Etek Bainah melepas kerinduan.

Syafii yang masih bertekad melanjutkan pendidikannya, kembali ke Jawa, dengan tidak melepas tanggung jawab tentunya. Dia sudah mencari pengganti mengajar di Payahkumbu, Bachtasar Tahar alumnus Mualimin Lintau. Setelah niatan mendapat sambutan positif perjuangan pun siap dimulai, kembali ke tanah rantau. Disana Syafii yang sudah biasa hidup mandiri semenjak remaja, harus berjuang keras menempuh hidup yang tertatih-tatih. Dia menjalani beratnya sekolah sambil bekerja, sehingga pada mulanya mengambil fakultas hukum harus rela pindah ke FKIP jurusan sejarah budaya Universitas Cokroaminoto Surakarta, dengan alasan efisiensi jadwal dan waktu bekerjanya. Perjuangannya sungguh berat, berbagai profesi pun pernah Syafii jalani demi mengais rejeki membiayai kuliahnya; mulai dari guru les, penjaga toko kain, penimbang besi, berdagang ayam dan kambing sampai menjadi guru honorer.

Bagi saya buku ini merupakan simbol kekaguman penulis terhadap Buya Syafii. Dimana beliau menjadi sosok guru bangsa baginya. Disini penulis cukup lihai memainkan penanya dalam membawakan novel ini, tulisannya beralur lancar, mudah dibaca, menyimpan banyak rasa, dengan tidak menghilangkan makna hidup di dalamnya.

Dalam bab 12, diceritakan sampai usia 28 tahun, Syafii menjadi bujang lapuak yang masih begulat menuntut ilmu di jawa, belum juga memiliki tumpuan hati. Sudah 4 tahun lamanya dia tidak pulang, sehingga membuat Etek Bainah, bibi yang merawatnya semenjak kecil, ikut merasa sedih dan gelisah. Kemudian atas inisiatif putranya Ismael, timbulah keinginan untuk menjodohkan Syafii dengan Lip si gadis kecil, dimana usia keduanya terpaut jauh sekitar 10 tahun.

Setelah berkirim surat tentang perjodohannya, Syafii pun pulang kampung dan terlaksanalah pertunangan dirinya dengan Lip, yang saat itu berumur 18 tahun. Hubungan jarak jauh sempat mereka lakoni, dengan rasa sayang dan saling memahami. Dimana Syafii melanjutkan kuliahnya di jawa, dan Lip melanjutkan sekolahnya di Padang. Pernah suatu masalah besar menimpa dan hampir mengandaskan hubungan mereka, namun bisa diatasi, kabar bahwa Syafii telah mempunyai anak di Baturetno. Dan wujud dari kesabaran mereka, akhirnya mengantarkan keduanya sampai ke pelaminan, meniti titian kehidupan bersama.

Pelajaran Hidup

Penulis menutup buku ini dengan sebuah kisah sedih, setelah menikah Syafii dan Lip menjalani kehidupan yang sebenarnya dimana cobaan datang silih berganti; mulai dari kondisi ekonomi yang pas-pasan dan serba sulit, hidup yang berindah-pindah, sampai puncaknya, putra pertamanya Salman, buah hati yang menorehkan cahaya kebahagiaan dalam keluarganya, dipanggil lebih cepat oleh Tuhan. Meninggalkan kesedihan yang teramat dalam bagi mereka; saat Salman sakit hanya ditemani ibundanya, Lip di Padang, sedang Syafii terlampau jauh di Yogyakarta.

Buku yang nantinya akan dirilis menjadi sebuah film ini mengajarkan kesederhanaan hidup, ketabahan, konsistensi, independensi, moralitas adiluhung dan pergumulan panjang pencarian jati diri seorang Syafii Maarif. Selamat membaca!

Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, pegiat di Jepara Pena Club, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

No Telp : 0858 654 142 41

No ATM : BPD Jateng Cab IAIN Walisongo Semarang (2-056-08169-3)

Resensi


Laksamana Cheng ho Penyebar Islam di Nusantara


Judul : Cheng ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara

Penulis : Tan Ta Sen

Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta

Cetakan : Pertama, Juni 2010

Tebal : xiiv + 406 halaman

Harga : RP 85.000,-


Namanya tak asing, Laksamana Cheng ho, komandan tertinggi armada laut terbesar di dunia pada masa dinasti Ming—kekuasaan Mongol di china—sekitar abad 15. adalah sosok yang paling banyak diperbincangkan dalam 6 abad terakhir. Kaitannya dengan ekspedisi transendentalnya ke berbagai samudera di dunia, mengusung warna peradaban islam negeri tiongkok kala itu. Ya, siapa sangka banyak persepsi kontras para sejahrawan saat ini yang menuai hipotesa ihwal penyebaran islam terbesar di nusantara adalah berasal dari jalur China, berbanding sealur dengan jalur barat perdagangan Gujarat dan timur tengah.

Dalam kisaran abad 13 sampai 15 masehi, adalah masa dimana terjadi transmisi islam besar-besaran dari China ke Asia Tenggara. Disini dibagi menjadi dua fragmen; pertama akibat dari pendudukan Mongol islam atas kerajaan Majapahit awal abad ke 13 yang berdampak positif menyebarnya islam secara patronisme. Kedua adalah berkat pelayaran samudera laksamana Cheng ho ke daerah asia tenggara—Champa, Zhenla, Siam, Malaka, Aceh, Sumatera, Jawa, dan termasuk kawasan timur nusantara—membawa berbagai misi perdamaian, diantaranya: pengamanan jalur laut selatan, perdagangan dan hubungan multilateral kenegaraan dinasti Ming.

Penulis mencatat setidaknya ada tujuh ekspedisi besar Cheng ho ke samudera barat sejak tahun 1405 sampai 1433, mengubah secara radikal lanskap politik dan agama di kepulauan asia tenggara( hal 223). Disini penulis menjelaskan bahwa dari ekspedisi-ekspedisi Cheng ho itu, menemukan adanya sejumlah pemukiman China di Jawa dan Sumatera. Hal demikian mengandung nilai sejarah yang sangat penting, baik dalam sejarah China maupun AsiaTtenggara. Itu memberikan dimensi budaya politik baru dan perspektif baru bagi misi diplomasi dan perdagangan Cheng ho. Sekaligus berdampak langsung terhadap perkembangan masyarakat China perantauan di Indonesia dan perannya dalam penyebaran islam di nusantara (hal 254).

Dalam buku yang merupakan desertasi penulis mendapatkan gelar doktor jurusan sejarah Universitas Indonesia ini, terkesan istimewa. Begitulah, karena Tan Ta Sen mampu mengemas dan memadukan data yang banyak berasal dari berbagai sumber sejarah, terutama dari naskah-naskah kronik China dan relief bangunan kuno yang sulit dipahami orang awam menjadi sebuah karya yang berefleksi edukatif dan bermuatan nilai historis tinggi. Diulas di dalamnya dua garis besar pembahasan; tentang peradaban islam di China dengan inisasinya dan peradaban islam di asia tenggara dengan aspek penyebaran dan mobilitas akulturasi kebudayaan di dalamnya.

Buku ini tersusun dalam sembilan bab pembahasan dan dibagi menjadi dua fragmen. Terkait erat dalam fragmen awal dan kedua dimana dijelaskan penulis bahwa, dinasti Ming lebih mengandalkan kemajuan peradabannya dalam mengembangkan kekuasaan politiknya terutama ke daerah selatan. Dalam hal ini merupakan kawasan penting perdagangan; sebagai jalur sutra, jalur champa, dan jalur emas. Terbukti dengan politik damai ini, menjadikannya memiliki pengaruh terbesar saat itu. Dan hakikatnya adalah mengubah arus asimilasi budaya menjadi tendensi perdamaian dan memudahkan ekspedisi pedagang China ke berbagai penjuru nusantara; sumatera, pesisir utara jawa, dan kepulauan timur Indonesia.

Adapun dari sisi penyebaran islam yang dibawa oleh Cheng ho, lebih kearah pendekatan kaum elite—bangsawan kerajaan yang masih berpahamkan hindu dan budha—secara patron. Langkah ini berdampak besar dalam penyebaran islam saat itu, disebabkan banyaknya pedagang dan tentara islam tiongkok yang menjalin hubungan dengan warga pribumi kemudian menetap. Hingga muncul banyak perkampungan di nusantara yang bernafaskan islam, meskipun tidak bisa dipungkiri masih banyak tradisi hindu-budha di dalamnya, semisal di jawa dikenal dengan tradisi islam kejawen. Hal yang juga serupa hampir di seluruh kawasan penyebaran islam asia tenggara. Wujud akulturasi yang nampak jelas sampai sekarang, adalah bentuk bangunan masjid yang bercorak china-jawa.

Meskipun pada perkembangan selanjutnya terjadi ambivalensi keideologian dari warga China islam perantauan tentang ihwal jati diri mereka. Hal ini akibat pengaruh paham konfunisme yang menjadi superior utama ideologi rakyat tiongkok, usai redupnya pengaruh kekuasaan islam Mongol di China akhir abad ke 17. Hal yang menarik dimana proses asimilasi Indonesia-China yang sudah mengkristal, menumbuhkan kesepahaman ideologi dan tradisi yang seakan menyatu dengan rasa empati dan toleransi yang tinggi. Penulis menambahkan, sampai kemudian pada tahun 1999, muncul sosok pemimpin negeri ini yang merupakan keturunan China islam, yakni KH. Abdurrahman Wahid, sosok guru bangsa yang moderat dan toleran.

Bagi saya, buku ini hendak mengingatkan bahwa sejarah memicu orang melakukan pelacakan asal-usul untuk mengafirmasi identitas dengan sekian tautan agama, politik, ekonomi, sosial, dan kurtural. Disini penulis mampu memberikan uraian yang kaya, mengalir dengan bahasa yang renyah, disertai dengan indeks yang komprehensif, dan mengandung makna dan pelajaran di dalamnya. Adapun kekurangan dari buku ini lebih terhadap dosa kecil kesalahan ketik, sedang ihwal tipologi materi buku ini bisa dikatakan sempurna. Akhirnya, membaca buku ini pembaca akan diajak mengarungi eksperimen dan ekspedisi ihwal peran islamisasi tiongkok ke nusantara yang dimotori oleh Laksamana Cheng ho dengan sikap arif dan toleransinya. Sekian.


Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pembaca buku asal kota ukir Jepara, mahasiswa Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang.